Mei 07, 2018

Life These Lately Months

Yeah, hello.
It feels so awkward to review our own life, right? In our perspective, our lives suck, don't they? 2018 has been going for more than 4 months, resolutions has been declared, clean and clear. Yah, so far it's not bad, but some of them didn't go as i planned.

Kecewa? Sudahlah capek kalau harus berlama-lama kecewa. Bukankah seninya hidup itu seperti itu? Aku sekarang sedang berusaha meluweskan diri terhadap hal-hal yang awalnya tidak bisa aku tolerir dengan melabeli diriku dengan sok asik: i am inelastic to mundane affair. yeah i was so fucking arrogant but sometimes i need that arrogance too. So yeah, don't be a bigot of something. LOL. Really, i want to laugh at myself right now.

Akhir-akhir ini kantor sedang tidak banyak kerjaan, terutama yang pasti karena ini adalah bulan-bulan lelang proyek, dan ini masih dalam rangka bubaran tahun selesainya proyek. Jadi kalau akhir bulan yang pas dengan libur panjang Natal dan Tahun Baru orang-orang asyik piknik dan liburan kemana-mana, aku (dan suami) sibuk dengan deadline proyek yang harus tutup tahun. Dan sekarang, saat yang lain kerja dengan normal, aku jam segini di kafe dong. Nulis ginian. Cukup adil, ya? Bukan libur, ini sedang nunggu Kerangka Acuan Kerja (KAK) mana yang harus dibuat Usulan Teknis (Ustek) untuk kebutuhan lelang proyek. Ya, yang lain kerjaan mah udah ada aja dari awal tahun, kami masih harus cari proyek buat makan sehari-hari, Bro Sist. Jadi, beda itu biasa ya. Bersyukur saja, karena percaya sama Tuhan adalah koentji. Ingat, Tuhan akan cukupkan. Lagi relijius, kau?

Lagi, awal tahun ini aku punya resolusi, anggap saja resolusi kecil-kecilan yang sebenarnya ingin mengubah pola hidup ke arah yang lebih baik ya, dengan dua hal besar yang mungkin bisa di-break down menjadi banyak rincian kecil yang mugkin bagi banyak orang sudut pandangnya akan beda dengan diriku. 
  1. Persering memasak sendiri di rumah. Awalnya kulihat ini adalah sebuah usaha untuk penghematan pengeluaran bulanan ya, tapi ternyata dampaknya lebih dari itu. Mau dikupas satu-satu macam buah jeruk? Pertama, selain bisa mengirit pengeluaran untuk makan, ternyata ini bisa meningkatkan kadar kesehatan tubuh. Tahu teori garbage in garbage out? Nah itu aku asumsikan bisa berlaku terhadap tubuh kita. Kumasak semua bahan makanan itu dengan cinta dan sayang, jadi semacam aku berikan doa kepada anak dan suamiku agar selalu sehat panjang umur. Usaha, boleh kan? If you want something, make an effort! Kedua, itulah. Kalau lapar, masaklah dulu baru bisa makan, kalau menginginkan sesuatu, usahalah dulu baru bisa kamu dapatkan itu keinginan-keinginan yang kadang absurd. Sedikit delay gratification tapi hasilnya, puas tak kau, eh? Paham dengan benefit yang kedua ini? Ketiga, tak lain dan tak bukan adalah aku semakin sering main ke pasar, mengerti perkembangan harga, berkomunikasi dengan pedagang pasar, dan punya langganan tempat beli sayur. I take that as a benefit.
  2. Perbanyak baca banyak buku. Membaca buku adalah sebuah sanctuary buatku. Tak melulu tempat, kegiatan yang menenangkan juga termasuk sebuah sanctuary yang bisa kudatangi kalo lagi suntuk dan jenuh dengan rutinitas. Ya tak bisa dipungkirilah, mulai aktivitas dari sejak alarm subuh berkumandang sampai tidur malam jelas bikin jenuh kan? Relaksasi dulu dengan membaca. Dari membaca, aku semakin memahami banyak hal, mengasah kepekaanku, emosiku, perasaanku. Sometimes, i think that all engineers need to read some books, not a non-fiction one, but sometimes to sharp your feelings, grow your sympathy and empathy up. Dan posisikan dirimu sebagai gelas kosong yang siap menerima ilmu apapun. Dan tentu saja untuk bisa menjadi gelas kosong, kamu harus bisa rendah hati. Hello, you, who has big ego, please come to my sanctuary. Jadi kira-kira sebulanan ini, setelah selesai membaca beberapa buku, aku mengalami sebuah trans pada diriku. Bukan trans yang terus aku kerasukan atau nari-nari penuh penghayatan gitu, tapi aku merasa bahwa apa yang aku ketahui saat ini masih belum cukup. Aku merasa belum pintar, aku masih haus hal-hal baru, pengetahuan baru. Aku merasa muak dengan sosial media, muak dengan orang-orang yang sibuk mem-personal branding-kan dirinya (paham nggak paragraf ini? Personal brand?) sebagai yang (paling) asyik, paling benar, paling miyatani, paling cantik, langsing, etc you name it. Padahal ya biarin kan ya orang-orang kayak gitu, kalau akunya nggak suka, ya sudah nggak usah dilihat. Ya, kemudian aku sampai pada kesimpulan seperti itu setelah aku uninstall facebook app di ponsel dan beralih membuang sampah pikiran di twitter. Kemudian kalau sudah gitu, rasanya pengen semakin banyak membaca, belajar, bahkan kuliah lagi kalau diperlukan. Sebuah keadaan yang kupikir cukup fucked-up dan membuatku tidak percaya diri.
Oiya, ngomong-ngomong soal percaya diri, sejak mempunyai anak, kepercayaan diriku melesat turun drastis. IDK what happened in me, tapi kurasa aku menemukan beberapa wanita juga mengalami hal yang sama. Jadi sekarang aku masih dalam usaha mengembalikan, bahkan menaikkan kepercayaandiriku hingga ke taraf yang aku butuhkan dan sesuai dengan kapasitasku. When you see me as calm as an ocean, yang sebenarnya adalah aku berantakan banget dalemnya. Ya hatinya, ya pikirannya. I can't stop thinking, or at least, i THINK i can't stop thinking. Semacam, tenang sikitlah kau, hidup jangan kau bikin berdebar naik turun kayak indeks IHSG, dong! 

Kemudian, kesimpulan untuk 4 bulan tahun 2018 itu apa? Ya tidak ada, selain betapa berantakannya diriku. Aku tidak ingin menilai dengan 1,2,3,4, atau 5 bintang tingkat kualitas hidupku, karena yang aku inginkan adalah hidup yang lebih baik dari dari kemarin. Hidup yang aku usahakan dengan pola yang terus kuperbaiki dari hari ke hari (entah ini keliahatan atau enggak, nggak ada yang mengapresiasi juga selain diri sendiri). Semoga tutup tahun ini aku bisa meningkatkan kualitas hidupku, menambah ilmuku, dan semakin percaya diri dan, please, ACCEPT YOURSELF, INDA. Surrender, macam Thor yang merelakan Asgard hancur tapi harga diri dan rakyatnya melambung tinggi saat melawan Hela dan kemudian diserang Thanos. Be like Thor, Inda, move on dari Jane Foster secepat itu, dan meskipun kehilangan satu mata, dia ikhlas.
IYAIN AJA DEH BIAR CEPET.

Maret 28, 2018

Berdamai dan Melepaskan

Postingan ini ditulis karena kegelisahanku beberapa malam ini. Kepikiran sampai dibawa tidur. Tidur tidak nyenyak, sebentar kebangun, sebentar tidur masih dengan otak yang memikirkan hal yang sama berulang-ulang. Lelah, bukan? Aku nggak tahu apa ada teori yang mengatakan kalau otak tidak ikut tidur meskipun raga kita sedang tidur. Sekali lagi, en-tah-lah.
Dan postingan ini ditulis sambil mendengarkan Payung Teduh yang Alhamdulillah ya lagunya lebih bagus dari Akad yang ya-apalah-menurut-saya. 

Mengapa takut pada lara
Sementara semua rasa bisa kita cipta
Akan selalu ada tenang
Di sela-sela gelisah yang menunggu reda

Ya, sayangnya benar sekali. Kenapa harus takut dengan lara? Beberapa hari ini aku nggak tahu gimana caranya, tersibukkan dengan membaca status facebook pada rentang tahun tertentu. 2010-2011 adalah tahun-tahun terberatku. Tapi nggak tahu gimana ya aku tetep kelihatan semangat-semangat aja, ketawa-tawa aja, ngelucu, ngelawak, bahkan sempat ngegombal. Padahal di dua tahun itu masing-masing aku kena penyakit patah hati akut yang kemudian berimbas pada mindsetku: udahlah semua cowok itu kalo nggak bangsat ya bangsat banget.

Patah hati yang pertama di tahun 2010 disponsori oleh hubungan jarak jauh dan hubungan dengan permantanan. To be honest, aku paling paling paling benci urusan sama mantan, mantannya pacarku contohnya. Sejak saat itu jelas aku trauma nggak jelas kalo udah urusannya deket sama cowok. Selalu pengen kutanyain: urusan lo sama mantan lo udah kelar belom? Udah beres belom? Kalo belom, kelarin dulu, baru bisa lo deketin gua. Semacam itu, tapi jelas aku nggak ber-elo-gua, ya. 
Urusan mantan ini memang pelik. Aku sendiri selalu cut the shit off kalo udah putus ya udah putus aja. Nggak bakal lagi sok menye-menye sama mantan, dan ya udah sih jomblo itu enak banget ternyata ya. Pikiranku kala itu.
Menyibukkan diri, semakin rajin ikut kegiatan di kampus, makin rajin belajar dan membaca (komik), main sama temen-temen, makan yang banyak, tidur, bahkan bisa pup dengan tenang. 

Hingga tahun 2011 ikut KKN-lah aku. KKN yang kuikuti kala itu benar-benar membekas segala-galanya buat aku. Mau nangis, mau ketawa, udah semuanya jungkir balik. Terjebak friendzone yang berdarah-darah, yang bakal sembuh dan legowo beberapa tahun kemudian. Nangis nggak karuan sampai udah nggak bisa keluar air mata. Meskipun pada saat itu aku juga melepaskan masa lalu yang udah menggerogoti pikiranku sejak dulu, jauh dari tahun 2011. Amazing bukan, rasanya? Sementara aku juga sibuk dengan urusan skripsi, kerja sampingan di MPKD dan konsultan. Cari uang, cari kesibukan.

Yang entahlah semua kejadian selalu di deket-deket hari ulang tahunku. Kadang kupikir, apa aku dikutuk pada tanggal itu? Aku lahir dengan membawa serta nestapa. HALAH SA AJA LAU REMAHAN KHONGGUAN!

Mau move on, mau melepaskan lagi rasa-rasa di tahun 2011, lha tiba-tiba datang kado berupa ipod yang katanya bisa mencentang salah satu wishlist-ku. KHANMAEN KHAN PA YA AQU BISA MUV ON JIKA DIKAU TERUS BEING TOO GOOD TO BE TRUE BEGITU? Ingin memaki-maki diri sendiri, berteriak betapa gila dan bodohnya aku kala itu. Tapi ya sudahlah, kuharap waktu bisa menyembuhkan segala-iya-segala-galanya yang gelap dan pengap ini. 

Time heals. How long does it take? Ternyata, setahun saja tidak cukup. Aku hanya lari, terus lari dan enggan berhenti sekedar menatap realita. Berlari dari satu buku ke buku lain, berlari dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain. Berlari dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang ketemunya sama saja: lo cuma kelamaan lari, tapi kalo lo nggak bisa forgive and forget, ya sama aja, dasar curut! 

Kadang aku juga bisa setegas itu sama diri sendiri.

Hingga ada fase sendiri, yang aku benar-benar sendiri. Bertemu dari satu psikolog ke psikolog yang lain (yang untungnya sih temen sendiri ya, jadi gratisan, lol). Diajari bagaimana menenangkan diri, fokus pada tujuan, dan tentu saja, santai saja. Nggak perlu lari, jalani saja. 

Tahun 2012 akhirnya skripsi selesai, aku wisuda dan langsung keterima kerja di sebuah konsultan di Jogja tanpa kesulitan -- hingga sekarang. 2012 adalah tahun yang damai, beriak lembut, dan meskipun ada desir-desir sedikit, aku mampu meredamnya. Banyak-banyak mempositifkan diri, beribadah, berteman, tertawa, dan tersenyum. Hingga tahun 2013 datang. Ketenangan itu masih ada. Bukan hidup namanya jika kita hanya merasakan bahagia terus. Ombak itu datang. Sangat besar. Teramat besar. Aku limbung dan sempat sangat impulsif: apa aku keluar dari kerjaanku, cari beasiswa ke luar negeri dan pergi. YA, AKU INGIN LARI LAGI. 
Aku ingin tempat yang baru, lingkungan baru, teman baru, dan fokus belajar. I cannot tell you masalah apa menerpaku, let it be my secret. Bahkan menuliskan ini masih bisa bikin aku meneteskan air mata :)
Oiya, dan di tahun 2013 ini akhirnya aku bisa berdamai dengan masa lalu di tahun 2011. Misterius dan unpredictable sekali, bukan? Akhirnya, teori time will heal ini efektif juga di aku. Bisa bernafas lega.

Sekarang, lima tahun semenjak kejadian tahun 2013, yang hanya AKU yang tahu dan paham benar bagaimana rasanya, legowo itu masih belum hadir 100%. Bersyukur sudah sedikit-sedikit merasa enakan. Forgive and forget, apakah ketika kita sudah memaafkan, otomatis kita akan melupakan? Aku tidak tahu makna memaafkan. Mungkin terdengar egois, karena ketika orang meminta maaf padaku, aku selalu sengan mudah memaafkan, tapi kusimpan baik-baik kenangan tentang perlakuannya itu padaku. Honey, scars remain. Aku tidak mau seperti keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali, bekas luka itu kugunakan sebagai pengingat agar aku tidak lagi melakukan kesalahan yang sama pada ORANG yang sama pula. Dan tulisan ini dibuat, murni sebagai upayaku berdamai dengan masa lalu, dan tentang melepaskan. Melepaskan semua lelah, melepaskan semua yang menyakiti, melepaskan. Lepaskan semua, hei, kamu, hati!








 

Januari 16, 2018

2018

Sangat terlambat, karena post dengan judul seperti diatas seperti sudah menjamur dimana-mana. Tidak apa-apa, karena pemikiran tentang tahun baru justru sedang berproses dalam kepala saya. Postingan ini bisa dibilang postingan serius, dan mungkin akan panjang. Atau tidak, semauku saja, oke?

Mengenal pergantian tahun, kita seakan dibangunkan dari tidur, kemudian dipaksa untuk merancang rencana untuk setahun kedepan; apa yang menjadi resolusi kita, seolah tahun baru adalah pemisah waktu, garis dimana semua dimulai dan seluruh rangkaian kejadian tahun kemarin kita tutup. Atau, begitulah khalayak memperlakukan tahun baru. Dengan begitu lugunya, aku pun pernah begitu. Memanjatkan begitu banyak harapan yang pada akhirnya terhempas sia-sia pada pertengahan tahun, dan menyesal karena resolusi yang telah dirancang sebelumnya hanya semacam bullshit terpopuler. Bertahun-tahun. Bertahun-tahun saya terjebak pada zona dimana semua harus dirumuskan dan dipajang di sosial media dengan menawan agar diberi likes sebanyak-banyaknya. Kisah ini muram, dan kini memalukan.

Lantas, apakah sekarang masih relevan? Relevan saja, terserah mau berintepretasi seperti apapun juga, iya kan? Memaksakan kacamata kita kepada orang lain itu sungguh berdosa, dan semoga aku bukan golongan yang seperti itu.

Di dalam kepalaku sendiri, aku memiliki beberapa poin yang ingin aku benahi dari hidupku. Akhir tahun lalu sangat menyedihkan, and i can't describe it why. Ada beberapa hal yang ingin aku simpan sebagai konsumsi pribadi saja. Terbersit di pikiran buat menemui psikolog (atau psikiater? I don't know the difference and i don't care). Sampai pada taraf menemui terapist untuk menenangkan dan menentramkan diri. Tapi ternyata sampai sekarang masih aku urungkan niatku. Aku mencoba menentramkan diriku sendri, mengeluarkan segala sampah yang (mungkin) menjadi penyebab sakitnya pikiranku. Thanks to Evernote, so i can bump those garbage out everytime everywhere.

Dan untuk menghibur diri, aku mebuat sebuah angka sebagai deadline diriku sendiri, yaitu angka jumlah buku yang harus selesai kubaca tahun ini. Tidak muluk, hanya 2 buku per bulan, atau 24 buku per tahun. Bulan ini sudah lunas, Alhamdulillah, dan aku mulai menikmati hobi lama yang tersendat-sendat selama setahun kebelakang. Memberikan waktu dan jeda untuk diri sendiri itu ternyata sangat penting. Seberapapun banyaknya tugasmu, rasanya raga dan jiwa itu tetap harus menjadi kebutuhan primer kita. Jangan sampai menjadi sekunder, bahkan tersier. Duh!

Pada suatu malam, suami bertanya, kalau target membaca sudah tercapai, apa yang akan aku lakukan. Jujur, aku tidak tahu. I don't want to take things for granted, membaca sendiri sudah membuatku senang. Jadi mungkin, ini baru mungkin, membagi kebahagian itu kepada orang lain. Mungkin dengan menulis review buku yang sudah kubaca? IDK, that's just a thought.

Harapan. Tentu semua orang punya harapan, tidak terkecuali aku. Harapan-harapanku mulai bertumbuh sejak akhir tahun kemarin, sejak hari dimana aku menemukan dirimu begitu rapuh dan mudah retak. Kugenjot terus buuih-buih harapan agar aku kembali segar. Terus kubisikkan pada diriku sendiri bahwa bahagia itu tidak perlu ribet. Bahagia bisa terletak pada sepiring tempe goreng balur tepung yang super kriuk lengkap dengan cabe hijaunya. Bahagia bisa terletak pada ciuman-ciuman spontan dari suami. Bahagia bisa terletak pada pelukan mesra anak pada kita. Bahagia bisa saja ada di diri kita sendiri tapi luput kita rasakan. 

Jadi, mungkin tahun baru buatku hanya sebuah selebrasi saja, bahwa masih ada bahagia yang diciptakan oleh kembang api-kembang api itu. Meskipun, lagi, bahagiaku adalah bisa tidur selama 3 jam berturut-turut pada malam pergantian tahun.

November 23, 2017

Marlina, The Murderer in Four Acts

Marlina, The Murderer in Four Acts (source: urbannewsid.com)
  

Disclaimer: saya bukan movie reviewer, tulisan ini adalah kewajiban yang saya rasa harus saya tulis dan saya publish karena memang film ini luar biasa. This movie is a must-watch!

Lega dan selesai.
Itu perasaan yang saya rasakan ketika credit title mulai berjalan di screen bioskop setelah scene terakhir Novi membonceng Marlina dengan menggendong bayi mungil yang baru saja dilahirkan. Tapi perasaan ini tidak sama dengan perasaan saya ketika film tengah berjalan. Ada perasaan marah, sedih, kemudian merasa lucu dan haru ketika tengah menonton Marlina.

Film ini, hemat saya, tidak haya representasi mengenai otoritas patriarki terhadap perempuan, tapi yang tidak kalah lebih besar adalah porsi permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi dan buruknya birokrasi di negara kita. Tentu, segala ketimpangan yang besar itu tidak bisa anda rasakan di kota-kota besar, ketika ketimpangan yang terjadi berwujud besar kecilnya income masyarakat menengah ke bawah dengan masyarakat kelas atas. Bukan, karena ketimpangan sosial dan ekonomi di film Marlina ini mencakup segala aspek kehidupan yang vital: kemiskinan, isu kesehatan, fasilitas umum dan sosial, keamanan, dan keadilan. Semua tercakup dalam satu film yang terbagi dalam 4 babak pembunuhan. Semua berakar dari satu hal: Marlina.

Film Marlina bercerita mengenai seorang wanita yang belum lama ditinggal mati suaminya dan anak yang dikandungnya selama 7 bulan, yang dia beri nama Topan. Cerita bergulir hingga kedatangan Markus dan gerombolannya untuk menyita harta benda Marlina karena hutang, tidak terkecuali kehormatan Marlina. Selanjutnya, semua tentu sudah tahu, Marlina harus membunuh untuk mempertahankan harga dirinya, untuk mempertahankan satu-satunya kehormatan yang masih dia punya di tengah kemiskinan yang menghimpit.

Selesai membunuh, Marlina membawa potongan kepala Markus untuk diserahkan ke kantor polisi, dan berniat untuk melaporkan kejadian yang dialaminya kepada polisi.

Ada beberapa hal yang saya soroti disini, yang mungkin beberapa orang menganggapnya wajar.
Pertama, keterbatasan akses pada daerah yang luar biasa indah. Marlina harus menempuh perjalanan yang panjang dengan berjalan kaki, hingga dia berhasil sampai pada jalur jalan yang dilalui angkutan umum yang datang satu jam sekali. Rumah Marlina memang di atas bukit, jauh dari rumah lain, tanpa tetangga, meskipun sinyal telepon masih bisa menjangkaunya. Tapi akses terhadap sarana dan prasarana yang sulit menciptakan image ketimpangan sosial di mata saya. Hal itu ditambah dengan sarana transportasi yang hanya berupa truk yang dimodifikasi untuk mengangkut orang-orang bercampur dengan hewan dan ternak. Sangat minim, pada negara yang indah dengan ibukota yang penuh dengan riuhnya perputaran uang.

Kedua, tokoh Novi. Tokoh Novi memberi warna tersendiri di film ini. Bagi saya, Novi digambarkan sebagai anomali seorang wanita yang lemah lembut dan 'nrimo'. Dia melakukan perjalanan yang jauh dengan kondisi hamil besar untuk menemui suaminya. Dengan lugas Novi bercerita perihal kehidupan seksnya kepada Marlina, mengenai libidonya yang tinggi semasa kehamilan, hingga suaminya takut berhubungan badan dengannya dengan alasan 'takut janinnya kenapa-napa'. Dari cerita Novi ini bisa disimpulkan bahwa kesehatan ibu dan anak di Sumba masih sangat buruk: jarang terdapat bidan, apalagi dokter, masih beredarnya mitos-mitos yang secara tidak langsung merugikan wanita (seperti misalnya kalimat: kalau bayinya sungsang, itu artinya wanita hamil tersebut selingkuh!), dan minimnya pengetahuan mengenai kehamilan. Saya menyukai tokoh Novi, dia memberikan unsur humor yang membuat film ini tidak terlihat terlalu hitam.

Ketiga, ketika sampai di kantor polisi, Marlina ditawari untuk makan siang dulu di sebuah warung kecil di dekat kantor polisi. Disini Marlina bertemu Topan, gadis cilik yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Tokoh Topan disini juga memberikan angin harapan bagi saya. Melihat adanya Topan, saya merasa film ini tidak melulu menceritakan mengenai kisah kelam Marlina, tetapi saya merasa disuguhkan dengan adanya optimisme, anak kecil yang terlihat tangguh, yang memeluk Marlina hingga ia menangis. Menguras perasaan, iya, karena jelas Marlina teringat mengenai anaknya yang meninggal di kandungan pada usia 7 bulan, yang sama-sama bernama Topan.

Keempat, buruknya birokrasi. Marlina harus menunggu polisi selesai bermain pingpong sebelum polisi tersebut mau menerima laporannya. Keburukan itu masih ditumpangi dengan kalimat bernada misoginis seperti "Kenapa tidak kamu lawan saja Markus? Katamu dia kurus?". Saya sangat benci dengan kalimat itu. Oiya, deretan keburukan birokrasi dan ketimpangan sosial ekonomi diperparah dengan: untuk membuktikan bahwa Marlina diperkosa, dia harus divisum terlebih dahulu. Tapi, alat untuk visumnya belum ada di Sumba, harus menunggu kiriman dari Jakarta yang baru bisa dilakukan mungkin sebulan, dua bulan atau lebih baik Marlina mencari dokter sendiri.

Kelima, kelahiran bayi Novi. Novi harus melahirkan secepatnya karena ketubannya pecah. Kontraksi berlangsung ketika Franz (anak buah Markus yang balas dendam kepada Marlina atas kematian Markus) tengah memperkosa Marlina. Adegan tersebut memberikan saya gambaran yang paling menyakitkan. Menahan kontraksi, mendengarkan Marlina menjerit karena diperkosa, hingga akhirnya Novi tidak tahan lagi: dia mengambil pedang (atau golok?) dan membutuh Franz, sesaat sebelum bayinya lahir. Luar biasa.

Film ini terasa vulgar, sangat raw, dan nyelekit. Kita semacam disuguhi cerita nyata tentang keadaan Sumba yang masih sangat jauh di belakang kita. Gerombolan penjahat kejam menghantui masyarakat Sumba, dengan kondisi keadilan yang masih berupa isapan jempol saja. Kualitas kepolisian yang masih sangat minim, dan tentu saja, hal tersebut dikontraskan dengan lingkungan dan alam Sumba yang sangat indah dan tenang. Seakan, tenangnya Sumba sangat beracun.
Mengalun merdu musik-musik Sumba yang membuat film ini menjadi sebuah tragedi yang lembut tapi menusuk.

Namun demikian, pada awal adegan kita akan disuguhi dengan fakta bahwa perempuan masih menjadi warga kelas dua. Wanita harus melayani, memasak, dan diperintah oleh tamu laku-laki untuk membuatkannya minum. Wanita harus melayani laki-laki.
"Kamu menjadi wanita paling beruntung malam ini, akan ada 7 laki-laki yang meniduri kamu."
Betapa menjijikkannya kalimat tersebut, bukan? Stereotype laki-laki (atau masyarakat?) mengenai kenikmatan seksual yang pasti wanita rasakan ketika berhubungan badan, meskipun dengan paksaan, meskipun mengalami orgasme
. Menyedihkan.

Lazuardi. Original Soundtrack yang dinyanyikan oleh Zeke Khaseli, Yudhi Arfani dan Cholil Mahmud ini membuat film ini semakin paripurna. Saya sangat suka dengan musiknya. Membuat film ini cantik, meskipun bercerita mengenai kesedihan. Salah satu alasannya mungkin karena saya menyukai Efek Rumah Kaca (ERK) sejak lama ya, can Cholil Mahmud adalah vokalis ERK.

Secara keseluruhan, saya sangat mengapresiasi Mouly Surya sebagai sutradara. Jika ada yang menanyakan apakah film ini wajib ditonton? Tentu saja! Menontonlah, dan selami sendiri perasaanmu.

Sila rasakan sendiri, dan selamat bertemu Marlina!



November 02, 2017

Booking Hotel Susah? Say No More!

Hai, selamat hari Kamis, Manis! Bagaimana kamu mengawali harimu hari ini? Dengan terburu-burukah? Dengan santaikah? Ataukah dengan perasaan gembira karena bentar lagi cuti datang dan liburan dimulai? Uhuy! Mari awali dengan membaca artikel saya dengan menjawab sebuah pertanyaan berikut ini: apakah aplikasi favorit di telepon genggam kamu? Kalo saya jelas, aplikasi yang berkaitan dengan liburan! Aplikasi semacam itu mempermudah saya banget untuk urusan beli-beli tiket, booking hotel, hingga rekreasi ke destinasi wisata tertentu. Semua yang biasanya ribet, jadi lebih mudah banget banget banget!

Dan aplikasi tersebut adalah tentu saja Traveloka! Siapa sih yang nggak suka bikin itinerary liburan? Sebagai seorang yang perfeksionis (dan kebetulan merangkap menjadi seorang ibu dan istri), merencanakan detail sebuah kegiatan adalah sebuah keharusan buat saya. Tentu aja suami dapat tugas juga, tugas bayarin semuanya, dong! Hehehe.
Karena apa sih? Karena yang pertama ditanya oleh anak dan suami ketika barangnya hilang tentu saja adalah Ibu. Jadi, saya memang melevelkan merincikan detail sebuah itinerary liburan menjadi sebuah keharusan.
Nah, sejak punya aplikasi Traveloka di handphone, semua kegiatan mengurus liburan menjadi jauh lebih mudah! Pesan hotel, tiket pesawat, semua tinggal klik! Senengnya lagi, selalu ada rekomendasi hotel yang ditawarkan Traveloka, dan diskon yang gede banget buat membernya. Itu seru banget menurut saya, apalagi hemat pangkal senang-senang di belakang, iya kan? Hihi.

Tapi ada satu masalah yang sampai sekarang saya dan suami belum bisa atasi: waktu liburan kita sangat terbatas. Sebagai orangtua yang bekerja (saya dan suami, dua-duanya bekerja), waktu untuk liburan menjadi sangat terbatas. To be honest, kalaupun ada hari libur sehari-dua hari, rasanya pengen buat tidur-tiduran aja, nonton serial TV seharian, nyantai nggak masak, dan sebagainya. Dan tentu saja, solusi kami untuk saat ini adalah staycation. Staycation adalah menginap semalam atau beberapa malam di hotel dengan tujuan untuk lepas sementara dari rutinitas sehari-hari. Jadi, kita nginep di hotel, hotel manapun, dengan tujuan diatas. So far sih kami enjoy dengan staycation ala ala kami ini. Enjoy banget, malah. Siapapun pencetus staycation, pengen saya ajak salim.

Tentu aja kegiatan staycation ini jauh lebih mudah dengan bantuan aplikasi Traveloka di handphone saya dan suami. Memilih hotel di sela-sela jam makan siang dengan pilihan hotel yang super banyak dan beragam di jogja (mau yang tema modern atau tradisional, semuanya ada, lho!), membayar dengan berbagai metode (mulai dari pakai credit card hingga pay at the hotel), hingga diskon-diskon menarik yang bikin saya sendiri senang bisa berhemat. Fitur-fitur yang saya jumpai di Traveloka so far menyenangkan, tapi ada satu fitur yang baru banget, dan menurut saya merupakan sebuah inovasi dari aplikasi travelling semacam Traveloka ini, yaitu StayGuarantee. Jadi, selain membuat kita lebih nyaman dan mudah dalam acara pra-staycation (yaampun istilah saya!), kita juga dibuat nyaman banget selama check-in hotel hingga nanti check-out! Jadi kenyamanan kita bener-bener dijamin sama Traveloka, nih, Guys! Jika selama menginap di hotel kita dapat perlakuan yang nggak ngenakin nih, kiat bisa langsung komplain melalui StayGuarantee ini, dan pihak hotel akan lebih mudah mendengar keluhan kita. Dan tentu aja pihak hotel tetep akan merespon, bahkan keep in touch dengan kita terkait keluhan kita. Rasa yang lebih menyenangkan selain rasa didengar ya apalagi, sih, ya? Seneng banget kan kita berasa diopeni banget gitu.

Contoh nih, belum lama ini saya kelar staycation di Jogja (ya nggak usah ke luar kota juga kali ya, waktunya mana ada gini, lol). Saya pilih hotel di Traveloka, bayar lewat ATM, nggak perlu print bukti pembayaran deh, ntar juga di-email dalam bentuk pdf. Nah bukti pembayaran yang dikirim via email itu tinggal kita kasih liat ke receptionist hotel aja pas kita check-in. Nggak sampai 30 menit lho buat pilih hotel + bayar, serius! Dan kita tinggal datang aja pas hari H di hotel yang kita tuju, jadi deh kita nginep-nginep lucu, bawa koleksi serial TV kita yang bejibun (waktu itu sih saya dan suami lagi kejar tayang The Big Bang Theory ya), dan makan enak di hotel. Keseruan dalam 2 hari 1 malam yang cukup buat refresh isi kepala kita. Ibu senang, Ayah senang, Anak girang. Ya giranglah, di hotel dia bisa ngapain aja. Bobok sambil jungkir balik juga bisa, kali, hahaha.

Oiya, dan satu lagi, buat yang punya anak kecil, Traveloka ini juga bisa jadi andalan, lho. Lewat Traveloka, kita bisa ngecek juga hotel mana yang ramah anak, hotel mana yang punya area playground, dan karena banyak foto-foto dari hotel yang terkait di Traveloka, kita jadi lebih mudah banget cari hotel mana yang sekiranya nyaman juga buat si kecil. Buat saya, ini tentu aja penting, mana anak baru umur 1 tahun, kan ya.

Jadi, siapa bilang pesan hotel harus punya credit card dan harus pusing? Saya harus terima kasih banget sama Traveloka nih, harus salim banget banget banget!

Oktober 19, 2017

Jangan Nonton Kalo Takut Kesindir.




Jadi gini, kapan hari itu aku nonton film di bioskop. Udah agak lama sih. Kemudian tiba-tiba muncul trailer film yang menceritakan geng anak muda, dua laki-laki dan dua perempuan. Dandanannya kalo menurutku sih norak ya, tapi siapa tahu itu memang dandanan kids jaman now? Hahaha. Pergaulannya bebas, seakan nggak terkekang, kemudian ditampilkan pula orang tua yang terlihat kewalahan menghadapi anak-anaknya. Waktu itu kupikir, film apa sih ini? Bukan yang langsung penasaran, tetapi yang mikir, apa emang anak jaman sekarang gitu banget sih?

Ternyata, film ini adalah fil My Generation, yang ternyata lagi, sutradaranya adalah Mbak Upi. Iya, MBAK UPI FAVORITKU ITUH! Sebelumnya aku emang suka sama beberapa film-film garapan Mbak Upi. Pernah nonton Realita, Cinta, dan Rock n’ Roll? Pernah nonton Radit dan Jani? Ini nih aku tanyain, ada yang belum pernah nonton 30 Hari Mencari Cinta? Yang sampai sekarang lagunya Sheila on 7 yang jadi soundtrack-nya itu terngiang-ngiang terus di kuping ya ampun aku kangen jaman dulu huhu T__T

Sheila Gank mana nih suaranyaaaa uhuukk!

My Generation sendiri menceritakan tentang persahabatan 4 anak SMA, Zeke, Konji, Suki, dan Orly. Diawai dengan gagalnya mereka pergi liburan karena video buatan mereka yang berisi protes terhadap guru, sekolah, dan orang tua menjadi viral di sekolah mereka, sehingga mereka dihukum tidak boleh pergi liburan. Tapi buka anak millennial dong kalo nggak banyak akal. Mereka ogah merutuki keadaan dan membuat orang-orang yang menghukum mereka berpuasdiri. Liburan sekolah yang terkesan tidak istimewa, akhirnya justru membawa mereka pada kejadian-kejadian dan petualangan yang sangat berarti dalam kehidupan mereka berempat. Petualangan dan kejadian apa sih yang bener-bener bikin anak muda yang penuh dengan pemberontakan ini akhirnya takluk dan berubah mindset? Penasaran? Sama HAHAHA.

Karakter keempat anak muda ini cukup unik, bahkan masing-masing punya masalah sendiri-sendiri yang sebenarnya mereka denial ya untuk mengakuinya. Bagaimana sih karakter mereka yang beda-beda itu? Ini nih:

  • Orly. Dia perempuan yang kritis, pintas, dan berprinsip. Dan, dia sedang dalam masa pemberontakan akan kesetaraan gender dan hal-hal lain yang ‘melabeli kaum wanita’. Salah satunya tentang keperawanan. Orly berusaha mendobrak dan menghancurkan label-label negatif yang sering diberikan kepada perempuan. Diluar itu, Orly bermasalah dengan ibunya yang single parent, yang sedang berpacaran dengan pria yang jauh lebih muda. Bagi Orly, gaya hidup sang Ibu tidak sesuai dengan umurnya.
  • Suki. Suki ini perempuan yang paling cool diantara teman-temannya. Selayaknya anak muda pada umumnya, Suki memiliki masalah dengan kepercayaan dirinya, tapi ya itu, dia selalu denial, dan berusaha menyembunyikan masalah itu rapat-rapat. Tetapi lambat laun krisis kepercayaan dirinya menjadi semakin besar, sejalan dengan orangtuanya yang selalu berpikir negatif terhadap dirinya.
  • Zeke. Zeke ini pemuda rebellious tapi juga easy going dan sangat loyal pada sahabat-sahabatnya. Tapi, ternyata dia memendam masalah yang sangat besar dan menyimpan luka yang dalam di hatinya. Zeke merasa orangtuanya tidak mencintainya dan tidak menginginkan keberadaannya. Untuk menyembuhkan luka yang dipendamnya, Zeke harus berani mengkonfrontasi orangtuanya dan membuka pintu komunikasi yang selama ini terputus diantara mereka.
  • Konji. Nah, Konji ini pemuda yang polos dan naïf. Dia sedang mengalami dilem dengan masa pubertasnya. Dia merasa ditekan oleh aturan orangtuanya yang sangat kolot dan over-protective. Hingga ada satu peristiwa yang membuatnya shock. Hal itu membuat kepercayaannya kepada kedua orangtuanya hilang, dan Konji balik mempertanyakan moralitas orangtuanya yang sangat kontradiktif dengan semua peraturan yang mereka tuntut terhadap Konji.


Keempat remaja ini ada diantara kita. Ada banyak Orly, Suki, Zeke, dan Konji di lingkungan kita. Tinggal kita peka nggak sih? Atau kita cenderung judgmental dengan langsung melabeli mereka remaja nggak bener?

Mbak Upi ini nggak tanggung-tanggung lho bikin filmnya. Penulisan naskahnya saja butuh waktu setahun. IYA, SETAHUN! Masih ditambah riset intensif selama 2 tahun. IYA, DUA TAHUN! Untuk bisa menggambarkan realita senyata-nyatanya, Mbak Upi bener-bener total.

Buatku pribadi sih ini film remaja sekaligus parenting ya. Soalnya mengasuh anak itu bukan trial and error. Bukan pula kegiatan yang ada manual book-nya, nggak ada remediasi, dan yang jelas, ini buatku adalah perjalanan bathin dengan Sang Pencipta. Kok bisa? Iya, lha anak itu kan titipan Gusti Allah, WAJIB hukumnya untuk mendapat pengasuhan yang terbaik. Dan terbaik buat mereka ini belum tentu terbaik buatku, lho. Sudah cukup paham? Dan film My Generation ini seakan menjadi bekal kita, para orang tua, dalam mendidik anak.

Nah, pada tanggal 10 Oktober kemarin, ada konferensi pers yang dihadiri pemain dan sutradara film My Generation. Semua pemeran utama di film ini memang pemain baru, masih fresh, segar, dan to be honest, bikin penasaran. Sekarang kan dunia perfilman kita diisi sama pemain-pemain lama yang emang aktingnya nggak perlu diragukan lagi kan ya. Tapi pemain baru ini gebrakan baru dan berani banget dari Mbak Upi. Masih inget tentang film-film yang pernah ngehits jaman angkatan AADC? Dari angkatan itu juga muncul lho banyak pemain film baru, yang nyatanya sampai sekarang mereka udah bertengger jadi pemain film professional. Aku yakin, para pemeran tokoh utama di My Generation ini one day juga bakal jadi pemain film handal. You should watch them play their roles. Totalitas tanpa batas – mengutip entah siapa.



Mbak Upi dan pemeran utama film My Generation

Suki, Zeke, dan Konji

Tuh kan, para pemainnya aja oke punya semua

Kalau masih penasaran sama film remaja yang nggak ngepolin kisah cinta-cintaannya, wajib banget diintip trailernya disini: My Generation Trailer.
Karena biasanya kan film remaja itu ceritanya nggak jauh-jauh dari urusan percintaan kan ya, kalau yang ini beda. Isu keluarga, sekolah, bahkan internal issue dari dalam diri mereka sendiri menjadi tema pokok di film ini. If you want to watch something different, then you SHOULD watch this movie. Aku kalau udah ngomong gini nggak pernah bokis, Gengs. Karena jujur aku sendiri masih takut sama bakal remajanya anakku ini gimana. Zaman sudah berubah. Everything changes, and that’s the challenge. Titik.

Gengs, jangan lupa ya pasang alarm kalian. Tanggal 9 November 2017 film ini bakal rilis. Saatnya siapkan budget, siapkan waktu, dan mental buat nonton cerita yang bakal bikin kita ngelus dada dan introspeksi diri ini ya. Sekalian bawa popcorn, jangan lupa. Karena apalah artinya nonton tanpa popcorn dan coke lol.

 
Nonton kita yuk

Oktober 17, 2017

Because The Important Things is You, Yourself

Postingan ini disponsori oleh hasil ngelamun sambil menunggu lotek selesai dibuat dan dibungkus. Aku suka sekali melamun, kadang pikiran terbang nggak tahu sampai kemana, nembus aturan-aturan pakem, yang kalo kata orang disebut mimpi. Tapi kadang dari ngelamun itu aku menemukan ide-ide segar yang kalo orang bilang biasa didapat ketika kita lagi boker di kloset. Kalo aku kok beda, ide-ide itu biasa didapat kalau lagi ngelamun atau naik motor. 

Siang ini tadi baca-baca tulisan GKR Hayu yang kuidolakan sebagai feminist itu dan kemudian muncul ide, kenapa nggak bikin website berbasis domain sendiri saja. Bukan buat gaya-gayaan, tapi kalo punya website sendiri yang belakangnya pake .com seru juga yah. Kemudian muncul pertanyaan baru, kalo udah bikin terus bagaimana? Mau diisi apa? Mau diisi curhatan seperti ini apa ya nggak bosen dan kok kesannya nggak migunani liyan ya? Jadi dalam waktu sempit itu diputuskan kalau website masa depanku itu sebaiknya diisi hal-hal yang migunani liyan. 

Selain karena aku suka sekali menulis, aku juga suka sekali berbagi. Banyak hal yang sebenarnya pengen aku lakukan, tapi aku benar-benar sedang mengalami defisit segalanya: ya tenaga, ya waktu, ya uang. Entah bagaimana nanti aku mau set goal-ku yang ini, tapi layak sekali dibikin metode pencapaiannya. Semoga aku nggak malas, ya.

Sementara bikin resolusi untuk tahun 2018, tahun 2017 sendiri masih belum habis. Baiknya sisa 3 bulan ini dihabiskan dengan cara sebaik-baiknya. Baiklah, jadi mari kita bikin poin mini goals yang harus dilakukan selama 3 bulan kedepan.
  1. Mengurangi Bermain di Social Media. Ini gampang-gampang susah. Step pertama yang aku lakukan adalah menerapkan lagi zen living. Buka secmed untuk hore-hore saja boleh, tapi bahas hal-hal yang serius bin sensitif, sebaiknya aku nulis di blog saja. Bukan apa-apa, aku baru saja mengalami hal yang nggak mengenakkan. Dan itu terkait dengan orang terdekatku, jadi baiknya aku tulis di ruang yang bisa berisi penjelasan yang lebih luas daripada status facebook. Ya, lebih detailnya, aku mau puasa facebook dulu selama beberapa hari, atau beberapa minggu, jika diperlukan.
  2. Perbanyak Menulis di Platform-Platform Berbasis Blogspot atau Opini. Ya, seperti ini. Ada hal yang bisa dijelaskan panjang dan lebar untuk meminimalisir kesalahpahaman seperti jika hanya menulis secuil pemikiran di status Facebook, misalnya. Atau yang lebih ekstrem, 140 karakter di Twitter, misalnya. Aku ingin lebih tenang, dan karena itu, aku ingin memperbanyak menulis untuk menampung pemikiran-pemikiran yang sering ngumpul di kepala, tapi enggan kutulis di status-status social media. Dan, aku sendiri suka dengan topik yang sensitif di mata orang lain, seperti politik, agama, dan kesetaraan gender, maka sebaiknya kutulis di platform yang semi tertutup seperti ini. Mengapa semi tertutup? Karena hanya orang yang 'mau membaca' saja yang akan membacanya. Fair and square, right?
  3. Perbanyak Ibadah. Definitely untuk mendukung konsep zen living-ku.
  4. Perbanyak Memberi. Ini cita-cita sejak dulu, maksudnya, aku selalu merasa lebih tentram dan lega ketika bisa berbagi memberi kepada orang lain. Butuh ke-istiqomah-an dalam hal ini, karena kadang rejeki yang kita anggap nyata adalah berupa uang, yang mana pada beberapa bulan ini sedang seret karena suatu hal: gaji kami di kantor tidak secara tepat waktu dibayarkan, pun kantor masih menunggak pembayaran gaji selama beberapa bulan. Hal tersebut menghambat niat untuk memberi, padahal jika dipikir-pikir lagi, kayaknya nggak bakal kekurangan juga kalau hanya untuk memberi sesuatu untuk membuat anak-anak panti asuhan senang, misalnya. Tapi sifat manusia kami memang terlalu sombong.
  5. Perbanyak Membaca. Sebuah cita-cita luhur yang mungkin terlalu tinggi untuk ibu muda macam saya. Membaca sebuah novel yang agak berat saja sekarang butuh waktu berhari-hari, sedangkan membaca Harry Potter yang tebal itu dulu aku bisa selesai dalam waktu 1 x 24 jam. Betapa keterampilan membacaku menurun drastis karena tidak dilatih ini. Bagaimana aku bisa selesai membaca Das Kapital atau Di Bawah Bendera Revolusi kalau ketrampilan membacaku loyo begini? Sedih? Sempat sedih, kemudian bangkit. Ya kenapa sedih, toh sedih juga nggak menyelesaikan masalah. Mendingan bangun terus susun rencana bagaimana mengembalikan apa yang sudah hilang. Terdengar klise, tapi ini bukan pekerjaan Roro Jonggrang yang bisa sehari dua hari selesai, lho. Sekali lagi, butuh istiqomah.
  6. Merawat Diri. To be honest, i feel uncomfortable dalam bentuk tubuh seperti ini. Aku butuh membuang lemak-lemak tubuhku, dan butuh masker wajah untuk membuat wajahku kembali terlihat segar, seperti dulu. Mas Andro bilang aku nggak perlu semua itu, karena aku sudah cantik, versinya dia. Tapi aku ingin merawat tubuh agar lebih sehat (dan cantik atau kinclong itu anggaplah bonus) jiwa dan raga. Bukan hanya itu, merawat badan juga sejalan dengan merawat kesehatan, baik jiwa, maupun raga. Dan itu bukan semata untuk diriku sendiri, tapi jika aku sehat dan segar, Mas Andro dan Adek juga pasti lebih bisa dibahagiakan, bukan? Aku seringnya lupa, bahwa membahagiakan orang lain itu harus dimulai dengan membahagiakan diri sendiri.
After all, ada banyak hal yang ingin aku wujudkan, tapi semua bisa dilakukan satu demi satu. Memisahkan antara yang butuh dengan yang ingin adalah salah satunya. Perbanyak membaca buku bisa dilakukan sejalan dengan perbanyak menulis. Ada banyak sekali buku yang belum sempat aku beli untuk kubedah dan kureview sebagai tanda keseriusanku. Dan ada banyak sekali percobaan-percobaan lain yang antri untuk aku eksekusi sambil menunggu bulan-bulan penuh pekerjaan ini selesai. 

Kurangi tidur.
Karena akhir-akhir ini aku sering kelelahan luar biasa, aku jadi terbiasa bangun agak siang di pagi hari. Tidak sempat mengawali hari dengan me-time sebelum bertempur dengan urusan-urusan masak-memasak dan berakhir dengan bekerja di kubikel sendiri. Hal itu rupanya membuatku semakin kelelahan. Baiklah, mari kita bangun lebih pagi, melakukan olahraga ringan sebentar, memasak, dan siap bekerja. Sekali lagi, aku sangat butuh ke-istiqomah-an dalam melakukan rutinitas tersebut. Semoga aku mampu, ya Gengs. Maaf postingan kali ini serius sekali, karena aku juga lagi dalam mode serius. Serius ingin lepas dari hal-hal yang tidak aku sukai tapi mengikatku saat ini. Semoga tulisanku ini tidak membosankan, ya! Tabik!

Oktober 10, 2017

Nothing Stays The Same, and That's The Challenge

Cheerstraw!! :)
Hai, long time no see. Liat update terakhir blogspot, kok udah tahun lalu, dan seketika aku merasa tidak berguna. Terus, siapa suruh punya dua blog, sih, Nda! Kemudian hari ini aku kepikiran sesuatu, tentang blogku yang ini. Ini blog tertuaku, sudah banyak post yang aku publish disini dan sejak tahun 2015, sudah aku putuskan kalau blog yang ini hanya akan menjadi tempat publikasi karya fiksiku. Ya, memang aku bukan penulis tenar. Tapi setidaknya, aku penulis, kan, karena aku menulis? Lebih dari itu, aku percaya kalau suatu hari waktu akan memberi jalan, jadi selagi bisa berkarya, kenapa tidak terus berkarya?

Sepertinya tulisan kali ini akan mengandung curhat, karena siang ini aku napas tilas tempat-tempat yang dulu udah menjadi lingkungan kedua setelah rumahku. Ya, benar, lingkungan kost. Aku makan siang di warung soto yang dulu sering aku datangi. Aku mengendarai motor menuju Ekologi (biar dikira kekikian, lol!) melewati Pogung Pandega, melewati laundry langgananku yang wanginya merebak membuatku semakin tenggelam dalam nostalgia-nostalgia kecil semasa malas mencuci di kost (baca: emang selalu laundry, bocahnya udah males kalo sama urusan kucek-mengkucek baju cucian lol). Lalu aku sadar sesadar-sadarnya: lingkungan ini memang sudah berubah. Nothing stays the same.

Makin jauh aku semakin banyak berpikir. Berapa lama waktu yang sudah aku lalui sampai sekarang, sampai menjadi aku yang sekarang. Berapa banyak aku sudah bersyukur? Hidup sering menawarkan hal-hal diluar ekspektasi kita, seperti misalnya ketika sudah sampai Ekologi, eh, ternyata penuh. coworking space-nya juga penuh, atas bawah. Jadilah aku keluar lagi dan mencari tempat lain. Dapat, Eastern Kopi TM. Not bad. Not bad at all, karena mau bilang bagus kok menu kopinya cuma dikit banget. Jadilah pesan es teh dan kaya-cheese toast. Agak berlebihan, padahal di menu hanya tertulis roti bakar kaya keju. HAHAHA GOTCHA! 

Sekarang memang ada hal-hal yang membatasi aku, karena aku sudah menjadi Ibu. Suka-duka menjadi ibu aku tuangkan di blog tema parenting yang berbeda dari ini (baca: maretseptember.wordpress.com). Biarkan blog ini selalu menjadi blogku, aku, yang tidak berubah ditempa waktu. Aku yang selalu menjadi si sinis semenjak kuliah, aku yang tidak mudah percaya akan hal-hal yang belum aku cerna, aku yang memang suka mengamati (pemerhati, bukan aktivis) dan lebih suka mendengar ketimbang bicara, aku yang menuangkan apa yang tidak bisa aku ucap melalui tulisan-tulisan seperti ini.

Adalah sebuah hal yang penting, ketika kita punya waktu barang satu jam untuk menjadi diri kita sendiri. Memencet tombol F5 (jadul!) untuk memberikan kita sedikit kelonggaran dalam melepas embel-embel istri, ibu, karyawan, anak, atau apapun yang mempredikatiku. Aku hanya ingin memiliki kebebasan barang satu jam untuk melakukan apa yang aku mau: menulis blog. Kelak kita semua akan tahu, how important this one hour is. Begitulah, manusia kadang juga lelah dengan segala gelar yang disandangnya, meskipun banyak yang memuji betapa mulianya kita telah menjadi ibu, betapa pintarnya kita telah menjadi sarjana, betapa aktifnya kita menjadi karyawan perusahaan swasta, dan lain sebagainya. Tapi selalu ada yang terlupa, bahwa kita juga memerlukan kesendirian untuk menikmati perjalanan bathin kita, mengevaluasi diri kita sebagai seorang individu yang juga berpredikat makhluk asosial. Sendiri menjadi sesuatu yang mewah, karena jarang sekali kita dapatkan. Dan bulan-bulan ini, apalagi. Ugh!

Ada apa dengan bulan-bulan ini? These months, i tellya, are a very tiring month! Semua tidak selalu datang bertubi-tubi, tapi semua datang beriringan, tanpa jeda. Ini, sejujurnya, membuat kewarasanku agak kurang terjaga. Aku sering bengong memikirkan betapa banyak hal-hal yang tidak bisa aku lakukan, atau betapa banyaknya waktu yang terbuang hanya dengan hal-hal nggak penting (aku ingin banting hape saja!). Dulu aku bisa saja menulis sampai larut malam karena tidak ada yang harus diurus siang malam maupun tidak ada yang harus dipersiapkan sebelum pagi menjelang. Tapi sekarang tentu udah berubah, tapi aku hanya akan bilang kalau ini hanya soal ritme yang belum pas saja. Kupikir. Tapi ya... memang semakin dewasa semakin kita menemukan bahwa hobi kita adalah sebuah tempat nyaman dimana kita berharap bisa bersandar padanya seharian, meskkipun pada akhirnya hanya bisa dihitung dalam hitungan menit saja.

Pada akhirnya, tulisan ini hanya berakhir menjadi sesuatu yang nirfaedah. LOL. Jangan lupa menjaga kewarasan, kalian diluar sana!