Januari 16, 2018

2018

Sangat terlambat, karena post dengan judul seperti diatas seperti sudah menjamur dimana-mana. Tidak apa-apa, karena pemikiran tentang tahun baru justru sedang berproses dalam kepala saya. Postingan ini bisa dibilang postingan serius, dan mungkin akan panjang. Atau tidak, semauku saja, oke?

Mengenal pergantian tahun, kita seakan dibangunkan dari tidur, kemudian dipaksa untuk merancang rencana untuk setahun kedepan; apa yang menjadi resolusi kita, seolah tahun baru adalah pemisah waktu, garis dimana semua dimulai dan seluruh rangkaian kejadian tahun kemarin kita tutup. Atau, begitulah khalayak memperlakukan tahun baru. Dengan begitu lugunya, aku pun pernah begitu. Memanjatkan begitu banyak harapan yang pada akhirnya terhempas sia-sia pada pertengahan tahun, dan menyesal karena resolusi yang telah dirancang sebelumnya hanya semacam bullshit terpopuler. Bertahun-tahun. Bertahun-tahun saya terjebak pada zona dimana semua harus dirumuskan dan dipajang di sosial media dengan menawan agar diberi likes sebanyak-banyaknya. Kisah ini muram, dan kini memalukan.

Lantas, apakah sekarang masih relevan? Relevan saja, terserah mau berintepretasi seperti apapun juga, iya kan? Memaksakan kacamata kita kepada orang lain itu sungguh berdosa, dan semoga aku bukan golongan yang seperti itu.

Di dalam kepalaku sendiri, aku memiliki beberapa poin yang ingin aku benahi dari hidupku. Akhir tahun lalu sangat menyedihkan, and i can't describe it why. Ada beberapa hal yang ingin aku simpan sebagai konsumsi pribadi saja. Terbersit di pikiran buat menemui psikolog (atau psikiater? I don't know the difference and i don't care). Sampai pada taraf menemui terapist untuk menenangkan dan menentramkan diri. Tapi ternyata sampai sekarang masih aku urungkan niatku. Aku mencoba menentramkan diriku sendri, mengeluarkan segala sampah yang (mungkin) menjadi penyebab sakitnya pikiranku. Thanks to Evernote, so i can bump those garbage out everytime everywhere.

Dan untuk menghibur diri, aku mebuat sebuah angka sebagai deadline diriku sendiri, yaitu angka jumlah buku yang harus selesai kubaca tahun ini. Tidak muluk, hanya 2 buku per bulan, atau 24 buku per tahun. Bulan ini sudah lunas, Alhamdulillah, dan aku mulai menikmati hobi lama yang tersendat-sendat selama setahun kebelakang. Memberikan waktu dan jeda untuk diri sendiri itu ternyata sangat penting. Seberapapun banyaknya tugasmu, rasanya raga dan jiwa itu tetap harus menjadi kebutuhan primer kita. Jangan sampai menjadi sekunder, bahkan tersier. Duh!

Pada suatu malam, suami bertanya, kalau target membaca sudah tercapai, apa yang akan aku lakukan. Jujur, aku tidak tahu. I don't want to take things for granted, membaca sendiri sudah membuatku senang. Jadi mungkin, ini baru mungkin, membagi kebahagian itu kepada orang lain. Mungkin dengan menulis review buku yang sudah kubaca? IDK, that's just a thought.

Harapan. Tentu semua orang punya harapan, tidak terkecuali aku. Harapan-harapanku mulai bertumbuh sejak akhir tahun kemarin, sejak hari dimana aku menemukan dirimu begitu rapuh dan mudah retak. Kugenjot terus buuih-buih harapan agar aku kembali segar. Terus kubisikkan pada diriku sendiri bahwa bahagia itu tidak perlu ribet. Bahagia bisa terletak pada sepiring tempe goreng balur tepung yang super kriuk lengkap dengan cabe hijaunya. Bahagia bisa terletak pada ciuman-ciuman spontan dari suami. Bahagia bisa terletak pada pelukan mesra anak pada kita. Bahagia bisa saja ada di diri kita sendiri tapi luput kita rasakan. 

Jadi, mungkin tahun baru buatku hanya sebuah selebrasi saja, bahwa masih ada bahagia yang diciptakan oleh kembang api-kembang api itu. Meskipun, lagi, bahagiaku adalah bisa tidur selama 3 jam berturut-turut pada malam pergantian tahun.