Agustus 20, 2015

Aku Telah Mati

Beberapa kali aku merasa membutuhkan me-time. Aku ingin terperangkap bersama waktu. Sendiri kita bersama, kemudian bersama uap-uap kenangan yang menyesakkan -tapi membuat kita hidup- itulah aku ingin terperangkap. Aku membutuhkan me-time-ku itu sekarang. Sejam yang lalu. Sehari yang lalu. Seminggu yang lalu. Setiap hari dan setiap saat.

Kadang aku merasa aneh dengan diriku sendiri, tidak ada hal lain di sekitarku yang begitu menggelitik pandanganku. Aku merasa bosan, aku tidak tertarik. Ketika perasaaan itu sedang kuat-kuatnya, aku merasa sangat merindukan kamar Kakek yang penuh dengan buku, yang akan melilitku dengan kesendirian dan kesepian. Yang akan membuatku mendengar detak jantungku sendiri hingga kemudian aku akan menyadari kalau aku (sedang) hidup.

Mungkin aku monoton. Aku terlalu serius menghadapi hidup, aku terlalu serius mempertanyakan hal-hal dalam hidup yang tidak akan pernah digubris orang lain.

Aku pernah kencan dengan seseorang. Seorang laki-laki tentunya. Aku menerima ajakan makan malamnya karena dia berjanji setelah itu dia akan mengajakku menonton Festival Film di LIP (Lembaga Indonesia Perancis), waktu itu. Ya, aku tidak tertarik dengan makan malamnya, tetapi aku sangat menghargai usahanya yang sangat menyukai dunia sastra dan seni ini. Maka berangkatlah kita ke SKYE, yang baru kutahu bahwa tempat itu sangat indah. Aku tidak mempersiapkan diriku untuk kencan seromantis itu, bahkan aku hanya mengenakan jeans dan kaus putih biasa. 
Tidak, aku tidak merasa terkesan dengan pilihan tempatnya itu. Aku mulai mempertanyakan dirinya, pantaskah dia untukku? Pantaskah dia mendapat jawaban "ya" untuk ajakan makan malamnya?
"Kenapa kita makan disini?" aku mulai bertanya.
"Tempatnya romantis, bukan? Ini di lantai 56 lho, coba lihat keluar," dia tidak menjawab pertanyaanku.
"Aku tahu," jawabku singkat.
"Aku hanya tidak suka ada disini," lanjutku enteng. Dia terkesima, kemudian terdiam.
"Maaf?" dia seolah bertanya, "APA? LO NGGAK SUKA TEMPAT PALING DIIDAM-IDAMKAN KAUMMU YANG SUKA HAL-HAL ROMANTIS KAYAK GINI!". Aku membuang mukaku dan mulai mengatakan sesuatu pada otakku. I'm not into this, why should i force myself to like something like this? Most people love this place, but i love some simple and humble places. Most people love doing shopping, but i love watching movie and discuss about the movie later, with the same movie-enthusiast, like me.
"Kok diam?" dia bertanya.
"Kita ke LIP langsung aja yuk. Aku merasa kamu membohongiku. Kamu tidak bilang akan mengajakku makan di BCA Tower ini."
Ya, aku memang keras kepala. Tapi aku hanya mempertahankan prinsipku.

Menyepi adalah salah satu caraku menghargai hidup dan kehidupan.

Pulang kantor sore menjelang maghrib hari Jumat itu, aku mulai menyusun rencana untuk menghabiskan akhir pekan. Pergi ke pasar, bercakap-cakap dengan pedagang sayur dan daging, memasak, kemudian aku akan menata rak bukuku yang mulai tidak beraturan. Mungkin akan menyortir beberapa buku untuk aku sumbangkan ke Panti Asuhan pada hari minggunya. Aku harus sibuk. AKU HARUS SIBUK.

"Hai, kamu!" seorang wanita cantik dan modern dengan stelan kantor yang sangat pas di badannya, berjalan ke arahku. Aku merasa belum pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya. Wajahnya pun tidak bersahabat.
"Iya, kamu," dia melanjutkan. Aku berhenti di depan gerbang kantorku, ditengah-tengah teman-teman kantor yang sedang dalam arus pulang juga.
"Saya?" tanyaku.
"Nggak usah pura-pura sopan deh kamu. Wajah polosmu nggak akan bisa menutupi kelakuanmu yang sebenarnya!" nada suaranya mulai meninggi. Aku melihat di sekeliling. Beberapa orang sudah mulai melihatku; ada yang berwajah ingin tahu, ada yang hanya sekedar menoleh karena spontan.
"Saya kenapa ya?" tanyaku lagi.
"Kamu marriage-breaker!" dia mendesis, dan kata-katanya terdengar mengerikan di telingaku.
"Kamu tahu dengan siapa kamu sedang berhadapan, dengan istri laki-laki yang kamu goda tempo hari, dia suamiku!" 
Kini semua orang melihat ke arahku. Beberapa ada yang tersenyum sinis. Ya Tuhan, jika Engkau memang ada, bunuhlah aku sekarang juga. Aku tidak butuh banyak manusia yang menghujamku dengan pandangan mengerikan seperti itu. Aku tidak butuh hidup dengan beban yang terlampau berat seperti ini. Aku tidak butuh semua ini, dunia ini, aku tidak butuh, Tuhan.
"Ingat kan sore kemarin kamu berjalan beriringan dengan siapa? Ya, dia suamiku! Kamu pasti tidak menyangka kalau aku, istrinya, tahu tentang kedekatan kalian! Kaget? Aku yakin kamu kaget. Kamu terlalu naif, kamu terlalu percaya diri," dia mendesis lagi sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. 
"Aku nggak ada hubungan apapun dengan su..."
"Cukup! Pictures tell more," wanita itu memotong perkataaku sambil mengeluarkan beberapa lembar foto dari tasnya. Foto-foto itu dia lemparkan ke wajahku, hingga akhirnya beterbangan dan jatuh di samping tubuh lalahku berdiri. Salah satu foto tersebut memperlihatkan aku dan Arkana berjalan beriringan di trotoar. Arkana sedang mabuk saat itu. Tapi kami hanya berjalan. Hanya berjalan beriringan. Tidak ada adegan penuh cinta dalam foto-foto tersebut. Semua orang bisa berlogika kalau aku dengan Arkana dalam foto tersebut tidak sedang pacaran atau sejenisnya. Kami hampir terlihat asing satu sama lain. Tapi mereka seolah sudah terbius dengan derai amarah wanita yang mengaku istri Arkana itu. Manusia akan lebih tertarik dengan hal-hal negatif orang lain daripada hal positifnya. Dan aku terlalu lelah untuk menjelaskan manusia-manusia itu agar bisa berpikir.
"Aku tidak akan menemui suamimu lagi. Katakan padanya untuk jangan menggangguku lagi," jawabku akhirnya. Aku benar-benar lelah menghadapi dunia macam begini.
"Baguslah, aku harap kata-katamu bisa aku pegang. Aku sedang dalam proses rujuk dengan suamiku, aku harap kamu jangan ganggu dia dulu," suaranya agak melunak.
Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menidakkan. Aku ingat, akulah yang mengatakan selamat tinggal pada lelaki itu kemarin. Lelaki yang bahkan aku tidak tahu siapa. Lelaki yang hanya membawa bencana untuk hidupku. Kurasa sekarang benar-benar cukup. Dia dan istrinya, tidak akan aku perkenankan lagi memasuki hidupku untuk kedua kalinya.
"Boleh aku pulang sekarang? Masih banyak hal yang harus aku urus. Hubunganmu dengan suamimu bukanlah urusanku."
Wanita itu menatapku tajam sebelum akhirnya beranjak menuju mobil Civic terbarunya. Aku tidak akan pernah bisa lupa dengan wajahnya. Aku tidak akan pernah lupa dengan sikap arogannya, sikap yang dengan mudahnya mematahkan hidup orang lain. Sikap yang dengan mudahnya membuat benteng-benteng pertahanan diriku terhadap hidup, yang kubangun sejak bertahun-tahun lalu, hancur.

Sekarang entah dengan cara apa aku akan membangun kepercayaan diriku lagi. Aku telah mati.