November 23, 2017

Marlina, The Murderer in Four Acts

Marlina, The Murderer in Four Acts (source: urbannewsid.com)
  

Disclaimer: saya bukan movie reviewer, tulisan ini adalah kewajiban yang saya rasa harus saya tulis dan saya publish karena memang film ini luar biasa. This movie is a must-watch!

Lega dan selesai.
Itu perasaan yang saya rasakan ketika credit title mulai berjalan di screen bioskop setelah scene terakhir Novi membonceng Marlina dengan menggendong bayi mungil yang baru saja dilahirkan. Tapi perasaan ini tidak sama dengan perasaan saya ketika film tengah berjalan. Ada perasaan marah, sedih, kemudian merasa lucu dan haru ketika tengah menonton Marlina.

Film ini, hemat saya, tidak haya representasi mengenai otoritas patriarki terhadap perempuan, tapi yang tidak kalah lebih besar adalah porsi permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi dan buruknya birokrasi di negara kita. Tentu, segala ketimpangan yang besar itu tidak bisa anda rasakan di kota-kota besar, ketika ketimpangan yang terjadi berwujud besar kecilnya income masyarakat menengah ke bawah dengan masyarakat kelas atas. Bukan, karena ketimpangan sosial dan ekonomi di film Marlina ini mencakup segala aspek kehidupan yang vital: kemiskinan, isu kesehatan, fasilitas umum dan sosial, keamanan, dan keadilan. Semua tercakup dalam satu film yang terbagi dalam 4 babak pembunuhan. Semua berakar dari satu hal: Marlina.

Film Marlina bercerita mengenai seorang wanita yang belum lama ditinggal mati suaminya dan anak yang dikandungnya selama 7 bulan, yang dia beri nama Topan. Cerita bergulir hingga kedatangan Markus dan gerombolannya untuk menyita harta benda Marlina karena hutang, tidak terkecuali kehormatan Marlina. Selanjutnya, semua tentu sudah tahu, Marlina harus membunuh untuk mempertahankan harga dirinya, untuk mempertahankan satu-satunya kehormatan yang masih dia punya di tengah kemiskinan yang menghimpit.

Selesai membunuh, Marlina membawa potongan kepala Markus untuk diserahkan ke kantor polisi, dan berniat untuk melaporkan kejadian yang dialaminya kepada polisi.

Ada beberapa hal yang saya soroti disini, yang mungkin beberapa orang menganggapnya wajar.
Pertama, keterbatasan akses pada daerah yang luar biasa indah. Marlina harus menempuh perjalanan yang panjang dengan berjalan kaki, hingga dia berhasil sampai pada jalur jalan yang dilalui angkutan umum yang datang satu jam sekali. Rumah Marlina memang di atas bukit, jauh dari rumah lain, tanpa tetangga, meskipun sinyal telepon masih bisa menjangkaunya. Tapi akses terhadap sarana dan prasarana yang sulit menciptakan image ketimpangan sosial di mata saya. Hal itu ditambah dengan sarana transportasi yang hanya berupa truk yang dimodifikasi untuk mengangkut orang-orang bercampur dengan hewan dan ternak. Sangat minim, pada negara yang indah dengan ibukota yang penuh dengan riuhnya perputaran uang.

Kedua, tokoh Novi. Tokoh Novi memberi warna tersendiri di film ini. Bagi saya, Novi digambarkan sebagai anomali seorang wanita yang lemah lembut dan 'nrimo'. Dia melakukan perjalanan yang jauh dengan kondisi hamil besar untuk menemui suaminya. Dengan lugas Novi bercerita perihal kehidupan seksnya kepada Marlina, mengenai libidonya yang tinggi semasa kehamilan, hingga suaminya takut berhubungan badan dengannya dengan alasan 'takut janinnya kenapa-napa'. Dari cerita Novi ini bisa disimpulkan bahwa kesehatan ibu dan anak di Sumba masih sangat buruk: jarang terdapat bidan, apalagi dokter, masih beredarnya mitos-mitos yang secara tidak langsung merugikan wanita (seperti misalnya kalimat: kalau bayinya sungsang, itu artinya wanita hamil tersebut selingkuh!), dan minimnya pengetahuan mengenai kehamilan. Saya menyukai tokoh Novi, dia memberikan unsur humor yang membuat film ini tidak terlihat terlalu hitam.

Ketiga, ketika sampai di kantor polisi, Marlina ditawari untuk makan siang dulu di sebuah warung kecil di dekat kantor polisi. Disini Marlina bertemu Topan, gadis cilik yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Tokoh Topan disini juga memberikan angin harapan bagi saya. Melihat adanya Topan, saya merasa film ini tidak melulu menceritakan mengenai kisah kelam Marlina, tetapi saya merasa disuguhkan dengan adanya optimisme, anak kecil yang terlihat tangguh, yang memeluk Marlina hingga ia menangis. Menguras perasaan, iya, karena jelas Marlina teringat mengenai anaknya yang meninggal di kandungan pada usia 7 bulan, yang sama-sama bernama Topan.

Keempat, buruknya birokrasi. Marlina harus menunggu polisi selesai bermain pingpong sebelum polisi tersebut mau menerima laporannya. Keburukan itu masih ditumpangi dengan kalimat bernada misoginis seperti "Kenapa tidak kamu lawan saja Markus? Katamu dia kurus?". Saya sangat benci dengan kalimat itu. Oiya, deretan keburukan birokrasi dan ketimpangan sosial ekonomi diperparah dengan: untuk membuktikan bahwa Marlina diperkosa, dia harus divisum terlebih dahulu. Tapi, alat untuk visumnya belum ada di Sumba, harus menunggu kiriman dari Jakarta yang baru bisa dilakukan mungkin sebulan, dua bulan atau lebih baik Marlina mencari dokter sendiri.

Kelima, kelahiran bayi Novi. Novi harus melahirkan secepatnya karena ketubannya pecah. Kontraksi berlangsung ketika Franz (anak buah Markus yang balas dendam kepada Marlina atas kematian Markus) tengah memperkosa Marlina. Adegan tersebut memberikan saya gambaran yang paling menyakitkan. Menahan kontraksi, mendengarkan Marlina menjerit karena diperkosa, hingga akhirnya Novi tidak tahan lagi: dia mengambil pedang (atau golok?) dan membutuh Franz, sesaat sebelum bayinya lahir. Luar biasa.

Film ini terasa vulgar, sangat raw, dan nyelekit. Kita semacam disuguhi cerita nyata tentang keadaan Sumba yang masih sangat jauh di belakang kita. Gerombolan penjahat kejam menghantui masyarakat Sumba, dengan kondisi keadilan yang masih berupa isapan jempol saja. Kualitas kepolisian yang masih sangat minim, dan tentu saja, hal tersebut dikontraskan dengan lingkungan dan alam Sumba yang sangat indah dan tenang. Seakan, tenangnya Sumba sangat beracun.
Mengalun merdu musik-musik Sumba yang membuat film ini menjadi sebuah tragedi yang lembut tapi menusuk.

Namun demikian, pada awal adegan kita akan disuguhi dengan fakta bahwa perempuan masih menjadi warga kelas dua. Wanita harus melayani, memasak, dan diperintah oleh tamu laku-laki untuk membuatkannya minum. Wanita harus melayani laki-laki.
"Kamu menjadi wanita paling beruntung malam ini, akan ada 7 laki-laki yang meniduri kamu."
Betapa menjijikkannya kalimat tersebut, bukan? Stereotype laki-laki (atau masyarakat?) mengenai kenikmatan seksual yang pasti wanita rasakan ketika berhubungan badan, meskipun dengan paksaan, meskipun mengalami orgasme
. Menyedihkan.

Lazuardi. Original Soundtrack yang dinyanyikan oleh Zeke Khaseli, Yudhi Arfani dan Cholil Mahmud ini membuat film ini semakin paripurna. Saya sangat suka dengan musiknya. Membuat film ini cantik, meskipun bercerita mengenai kesedihan. Salah satu alasannya mungkin karena saya menyukai Efek Rumah Kaca (ERK) sejak lama ya, can Cholil Mahmud adalah vokalis ERK.

Secara keseluruhan, saya sangat mengapresiasi Mouly Surya sebagai sutradara. Jika ada yang menanyakan apakah film ini wajib ditonton? Tentu saja! Menontonlah, dan selami sendiri perasaanmu.

Sila rasakan sendiri, dan selamat bertemu Marlina!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar