September 14, 2015

Semua Tentang Anjali

"Aku mau rujuk, Arkana."
Tiga kata dalam satu kalimat yang Anjali ucapkan malam itu ketika dia pulang marathon-meeting di kantornya hingga jam sebelas malam masih membekas dalam kepala saya. Sepuluh batang rokok yang habis saya nyalakan menjadi teman mengobrol di teras malam ini. Ralat, pagi ini. Sudah semalaman saya duduk ditemani asbak kecil di teras sambil merokok. Semenjak Anjali pulang hampir tengah malam, dia langsung mandi dan tidur. Tinggal saya yang bengong dengan apa yang Anjali katakan semalam. 

You are not the passenger, you're the leader
Kata-kata itu terus berteriak-teriak di kepala saya.
Saya teringat beberapa tahun lalu, saat saya dan Anjali baru saja menikah. Kami bahagia dengan semua kecukupan hidup. Cukup bisa makan, cukup bisa naik motor keliling kota, cukup mampu nonton televisi dirumah. Tapi beberapa saat kemudian Anjali menggugat. Dia bilang lelah. Dia bilang lelahnya tidak pernah terbayarkan. Dia ingin lelah yang menghasilkan. Dia juga berdalih ingin unjuk gigi lagi di dunia kerja, ingin kembali menampilkan eksistensi dirinya. Ketika Anjali meminta ijin untuk mendaftar pekerjaan, saya memberinya ijin. Saya mencintainya, saya tidak ingin membuat Anjali tidak bahagia, apalagi tidak bahagia karena apa yang saya hasilkan setiap bulannya masih kurang di mata Anjali. Dia ingin nongkrong di Starbucks, dia ingin makan siang di Hanamasa, dia ingin makan malam romantis di restoran romantis (dan mahal) di rooftop hotel-hotel berbintang di Jakarta. 

Anjali diterima kerja di Citibank. Dengan postur tubuh yang semampai, wajah yang cantik, dan ijazah dengan nilai cum laude dari Fakultas Ekonomi UI, tidak ada yang bisa membendung Anjali. Maka dimulailah petualangan pertengkaran-baikan-pertengkaran-baikan kami yang berlangsung cukup lama.

Saya masih mencintai Anjali, tidak bisa saya pungkiri. Meskipun dalam beberapa tahun kebelakang, Anjali seolah membiarkan saya hidup sendiri di rumah kami. Ralat, rumah yang Anjali mampu beli. Saya seolah disuruh diam dan harus mengikuti apa yang Anjali mau, selaku pemegang keuangan rumah tangga. Saya hancur, tapi saya mencintainya. Tidak adakah yang pernah bilang bahwa lelaki adalah aktor terbaik sepanjang masa? Saya harus terlihat gagah dan berwibawa dibawah telapak tangan Anjali. Tidak pernah sekalipun Anjali memberikan selamat kepada saya atas capaian-capaian saya di bidang jurnalistik, hingga akhirnya mampu menerbitkan buku sendiri. Ya, suaminya yang lemah ini memiliki taring yang tajam di dunia kecilnya yang dia bagi bersama orang-orang yang mau mengapresiasinya.

"Kamu ini! Louboutin ini harganya berkali-kali lipat daripada gajimu sebulan, tau! Yang bener dong naruhnya di tempat sepatu!"
"Sayang, kapan kamu mau belikan aku cincin di Frank and Co.? Aku udah request sejak lama lho, satu cincin aja, masa kamu nggak mampu?"
"Aku capek kerja, Arkana. Baiknya jangan lagi kamu tambahi dengan pekerjaan domestik rumah kayak gini dong. Kan kamu yang punya lebih banyak waktu lowong ketimbang aku, apa salahnya bantuin nyuci dan setrika baju?"
My ass! Ya, mengingat kata-kata yang sering keluar dari mulut indah Anjali beberapa tahun belakangan memang hanya akan menyisakan sakit hati. Bandingkan dengan Anjali ketika awal-awal pernikahan kami, dia sering bilang seperti ini:
"Asal sudah bisa makan kenyang, pakai baju bersih, dan rumah untuk berteduh, itu sudah cukup buat aku, Arkana."
"Aku kan cinta kamu, Arkana."
"Aku kangen nih, cepet pulang ya."
"Besok kamu mau pakai baju yang mana untuk kerja? Sini aku setrikain dulu."
Whatever and whatever.

Kepalaku seketika pusing. Beberapa hari yang lalu Anjali meminta cerai. Tapi malam ini dia minta rujuk. Aku tidak tahu apa yang mengubah pikirannya. Aku berharap bisa kembali mengulang kemesraan kami berdua seperti dulu. Tapi aku sedikit pesimis.
Mungkin semua itu hanya akan jadi kenangan karena mengalami discontinuation?
Mungkin sofa di ruang tengah hanya akan menjadi saksi bisu menyaksikan kami dulu sering bercengkerama diatasnya sambil berciuman penuh cinta. Atau sofa itu hanya akan mengingat perkataan Anjali yang meminta perceraian beberapa hari yang lalu ketika aku duduk dengan lungkai di atasnya? Seandainya aku bisa memilih kenangan mana yang akan aku simpan, dan kenangan mana yang akan aku buang.

It won't happen here.

"Lo tahu, gue pikir selama ini gue udah berkorban banyak buat Anjali. Somebody should stop her," saya berkata kepada asbak yang penuh dengan abu rokok.

Saya ingat, dua tahun lalu Anjali hamil. Kami berdua bahagia sekali. Saya berusaha menjaga Anjali semaksimal mungkin: membelikannya susu, memijatnya setiap malam, menyiapkan sarapan hingga makan malam dengan nutrisi yang mencukupi, hingga membelikannya cincin Frank and Co. dengan membobol tabungan yang sudah saya kumpulkan bertahun-tahun demi menjaga Anjali agar tetap senang dan tidak depresi. To tell you the truth, cincin berlian 1,2 carat tersebut harganya mampu buat saya bayar DP KPR! But we have waited for the baby for so long, Dude. Jadi saya rasa, kali ini saya tidak akan melewatkan kesempatan ini.

But we lost the baby, anyway. Kandungan Anjali memasuki bulan ketujuh. Dokter bilang Anjali kecapekan. Yeah, she works from morning until early morning. Kemudian saya tersadar bahwa kesalahan ini hanya berakar tunggang: ketidakmampuan saya menghasilkan uang yang mencukupi sehingga Anjali harus bekerja seberat itu untuk memenuhi apa yang dia mau, yang seharusnya mejadi kewajiban saya. You don't want to know how i feel. Setelahnya, pernikahan saya dan Anjali hanya sebuah legalitas sederhana, dua oang hidup dalam satu rumah yang sama. Itu saja.

Semua tidak pernah tentang saya. Semua memang selalu tentang Anjali. Tidak peduli sebesar apapun cinta saya kepadanya, saya bukan nabi. Kalau Anjali bilang bahwa lelahnya selama ini tidak terbayar, maka saya pun berhak berkata demikian. Talak dua itu tidak akan saya cabut kembali. Lelah saya pantas dibayar dengan kebebasan.

Anjali, ini semua tentang kamu. Ini bukan tentang saya dan harga diri saya, ini semua tentang kamu. Selalu tentang kamu, Anjali.

September 11, 2015

Seninku Nerakaku

Trauma researchers have looked inside the brains of people who have suffered serious emotional trauma.

Berdasarkan artikel yang aku baca, trauma bahkan mampu membolak-balikkan pikiran manusia sehingga mereka kesulitan membedakan antara kejadian yang lampau dengan kejadian saat ini. Dulu, aku pernah mengalami kejadian yang membuat duniaku berputar-putar. Photograph memory-ku selalu menayangkan gambar yang sama, telepon rumah tua di Solo, tumpukan buku Kakek di rumah Solo, dan sore yang suram dengan gerimis yang menguntai menutupi semburat oranye senja yang malu-malu. Melalui telepon tua itu, aku mendengar berita yang membuatku enggan berdiri lagi, enggan membuka diri lagi. Aku berani menyebut apa yang terjadi tersebut sebuah trauma, seiring berjalannya waktu.

Fearful thoughts, flashbacks, and bad dreams. Fearful thoughts, flashbacks, and bad dreams. Begitu diulang-ulang terus. Begitulah hari-hariku terbentuk semenjak telepon jahanam itu. Solo yang sejuk berubah menjadi Kota Monster yang mematikan sel-sel emosiku yang baru tumbuh. I was so numb. I am so numb.

Have i told you about the calling? That was My Grandpa's. Iya, telepon dari Kakek tujuh tahun lalu. 
"Fritz meninggal dunia," cukup tiga kata tersebut yang membuat bumiku berhenti berotasi. Aku enggan bertanya mengapa, aku enggan mengetahui cerita dibalik garis kematian itu. Bolak-balik aku teringat tentang hal-hal yang tidak mungkin bisa lagi terjadi. hal-hal yang sudah pasti menjadi kenangan. Aku sungguh membenci kenangan. Mengapa orang-orang terus membicarakan kenangan sebagai hal yang indah jika mereka tidak mungkin lagi mengulang keindahan tersebut? Sebaliknya, kita hanya akan dihadapkan pada sebuah discontinuation, berhentinya sebuah hal indah tersebut. Menyesakkan? Begitulah buatku. Termasuk dengan Fritz. Aku tidak akan pernah mengalami keindahan hidup dengan Fritz di Vale Rise. Sekedar duduk di Starbucks setelah seharian bersepeda di Gladstone Park. Beberapa musim panas yang kutunggu-tunggu hingga akhirnya aku bisa liburan di rumah Kakek di Inggris. Oh, That Old Man. Kadang aku sangat mencintai Kakek, kadang aku sangat membencinya. Memandang buku-buku lama milik Kakek yang tertata rapi di kamarku membuatku sangat merindukannya. Tapi mengingat Kakek yang membenci Fritz hingga akhirnya di harus memberitahukanku berita menyedihkan itu, membuatku membencinya setengah mati.

Kadang aku tidak mengerti apa yang terjadi dalam hidupku.

Kadang itu membuatku enggan mencintai orang begitu dalam. Karena, orang yang membuatmu jatuh cinta, adalah orang yang akan membuatmu patah hati sepatahpatahnya. I won't take that risk. Sudah cukup aku dibuat 'sakit' oleh kenangan-kenangan itu, sudah cukup aku mampu mengingat-ingat kejadian buruk yang selanjutnya menjadi kenangan yang menakutkan, dan mimpi yang buruk itu. I have to cut all of those shits.

I can call that a trauma, can't i

Untaian kejadian buruk tersebut bisa saja aku cegah. Tapi sekarang, aku hanya bisa berkata "seandainya..."
Iya, seandainya saja aku tidak melakukan hal bodoh tersebut. Seandainya saja aku tidak berkenan berkenalan dengan Fritz. Seandainya saja aku tidak pernah ke rumah Kakek di Vale Rise. Seandainya saja Kakek tidak pengecut dan tidak perlu pindah ke Vale Rise. Semua selalu saja tentang "seandainya".

Lantas, bagaimana bisa aku mampu ditambah dengan 'pengalaman buruk' dilabrak istri Arkana? Bagaimana mungkin aku sanggup menanggung semua akibat dari pelabrakan itu seorang diri? Iya, seorang diri. Setelah semua orang tahu bahwa aku seorang (pseudo) marriage-breaker, seperti yang wanita itu tuduhkan, now can i just be dead, Dear God? Kepalaku pusing tidak karuan. Hidupku yang sudah hancur kini makin hancur. Tidakkah ada hal baik yang bisa kuterima lagi, Tuhan?

"Nala?" suara Bapak memanggilku dari balik pintu kamar.
"Ya, Pak?" jawabku enggan membuka pintu.
"Kamu tidak ke kantor? Ini sudah jam sembilan. Biasanya sejak sejam yang lalu kamu sudah berangkat," tambah Bapak. Harus kukatakan apa kepada Bapak? Tidak cukupkah beban yang Bapak pikul sehingga aku tega memberinya beban masalahku? Tidak.
"Nala sedang tidak enak badan, Nala mau istirahat dulu di rumah sehari ini." Sehari ini?, kudengar otakku meneriakkan pertanyaan bodohnya.
"Baik, Bapak bikinkan teh hangat ya buat kamu."
Aku tidak mengiyakan, pun tidak menidakkan. Aku enggan bereaksi apapun terhadap kehidupan. I'm so dead. I'm inelastic with those mundane affairs.

A traumatic experience that involves most or all of the senses - sight, hearing, smell, physical pain - as well as emotions, speech and thought, is stored in multiple regions throughout your brain. Dan begitulah. Seninku adalah nerakaku.



NB: the glimpse of the story of Nala and Fritz can you find in here.