Desember 30, 2009

Kembali Tugu

Gojess..gojes…gojess…
“ Arep ngombe opo Dab?” Satria.
“ Kopi joss…sing kenthel soyo nyamleng!” Rednan.
“ Teh anget aja.” Maya.
“ Wuooo banci. Adoh-adoh seko Pogung tekan Tugu kok gur teh anget, percuma le adem-adem numpak motor!” marah-marah, Satria.
“ Roaming…roaming…gua kagak ngarti Sob!” Maya.
“ Jakarta asu! Ngomong sok elho guwe elho guwe!” Satria.
“ wis wis…nyangkem kabeh. Gek ndang pesen!” Rednan.
“ Teh anget!” Maya.
“ Kopi joss!”
“ Kopi joss!”
Gojes…gojes… entah suara apa lagi, mereka bertiga hanya mampu menerjemahkan semua menjadi sebuah gojes. Karena dekat dengan stasiun Tugu, mereka sengaja memilih kata “gojes” yang memang erat kaitannya dengan kereta api rel. Pelan mereka menyeruput kopinya. Maya menyeruput teh angetnya.
“ Anjing! Gua digigit semut!” teriak Maya sambil memegangi tangannya.
“ Banci! Karo semut wae wedi!” Satria.
“ Kaga ngarti lo ngomong apa! Roaming ke gua!” Maya.
“ Wis wis wis. Menengo, aku mumet! Koyo kucing karo asu wae.” Rednan.
“ Bang Sat itu loh!”
“ Bangsat gundulmu. Satria ki, Satria!” jawab Satria.
“ Mangan wae njo mangan. Ngeleh aku Dab.” Rednan.
“ Duit mbahmu po? Ra gablek sedino ngamen ra entuk duit!” Satria.
“ Ra ngompas po?” Rednan.
“ Roaming woy roaming!” Maya.
“ Diam lo!” Satria.
“ Bisa juga lo ngomong bahasa Indonesia, hahaha…” Maya.
“ Kepekso! Daripada mbengok-mbengok marai kuping budheg!”
Bertepatan dengan itu ada satu motor berhenti di belakang mereka duduk. Sepasang muda-mudi turun. Olala, seorang bocah balita ternyata duduk diantara pemuda dan pemudi itu. Nikah muda, batin Maya. Tapi betapa beruntungnya anak itu, masih punya ayah dan masih punya Mamak. Maya jadi menerawang. Jauh di atas bintang sana, menunggangi bulan sabit, pasti Mamak sedang menyaksikan dirinya sambil berkata,” anak gadisku sudah beranjak dewasa…” dan bibir Mamak pasti tersunggingkan senyum. Tapi tidak, khayalan itu terlalu tinggi. Disini dia ada bersama Satria dan Rednan.
“ Ngopo kowe Nduk?” tanya Rednan. Maya menoleh ke Rednan. Dia berkedip-kedip terus, menghilangkan genangan airmata tak diundang di pelupuknya. Tapi bayangan Mamak berkelebat lagi di otaknya. Lagi. Lagi dan sekali lagi seterusnya lagi.
“ Kaga apa-apa. Pedes mata gue.”
“ Pedes bagemana? Kena semut yang tadi?” tanya Rednan lagi. Semutnya tadi gigit tangan, bukan pipi apalagi mata. Maya menggeleng pelan. Mamak, dan Papa. Papa yang hilang di belantara ketamakan Jakarta. Papa yang telah termakan mulut singa betina. Papa adalah seorang pemburu yang gagal. Papa lupa dia masih punya seorang putri yang tengah tersesat di hutan kehidupan. Hilang tenggelam di rawa kemaksiatan Jogja.
Gojes…gojess…gojess…
“ Anakku nagih bayaran sekolah. Diancuk, aku ra nduwe duit ki!”
“ Halah…halah…halah. Nek meh sing ayu yo Aura Kasih Dab!”
“ Ndiasmu kuwi! Tugasku sak bajeg! Dosenku mbeling tenan kok!”
“ Roaming…roaming…roaming!” teriak Maya. Satria membekap mulut Maya kuat-kuat. Lubang hidung Maya ikut tertutupi tangan Satria.
“ Comel lambemu! Menengo, sensitive aku nek krungu kata roaming!” Satria. Suara percakapan orang-orang yang hampir semuanya misuh-misuh. Misuh karena belum membayar sekolah, misuh karena ngga punya uang, misuh karena tugasnya banyak. Kenapa semua orang hanya bisa misuh-misuh? Puyeng. Mikirin diri sendiri aja masih puyeng, apalagi mikirin orang lain yang misuh-misuh.
“ Ayu yo ning Sarkem! Meh nggolek le tuwo, stw opo le wis meh menopause haha. Tambah Kang, segop kucinge!”
“ Aku wegah nek motore disita. Le ngeterke anakku nggo opo nek ngene carane?”
“ Dosenku juga gilaaaak! Semalem tiga paper coba!”
“ Keno penyakit ning Sarkem we. Gemang Dab!”
“ Aku utang sopo yo? Supraku oh Supraku…”
“ Aku laporan loro Dab, durung pretest praktek besok lusa!”
“ Roaming…roaming!! Pala gue penuh, omongan ngga gelas gitu, mana gua kagak ngarti semua lagi!” Maya berteriak muak. Dia muak dengan suara-suara aneh yang sering didengarnya. Dia muak dengan semua suara munafik yang sengaja didengungkan tanpa maksud. Dia muak mendengar semua alasan yang tidak masuk akal. Tentang Papanya yang membuat alasan menikahi Zora karena butuh teman ngobrol dan teman hidup. Padahal ngaku aja kalo Papa hanya butuh kehangatan Zora saat malam datang. Dan Maya muak dengan perasaannya yang terus berbohong. Dia muak dengan kemunafikan, dia muak pada dirinya yang munafik.
“ Yang mana yang kamu ngga ngerti May?” tanya Rednan.
“ May, kowe ki cah ayu-ayu kok minggatan seko omah ki ngopo?” tanya Satria. Maya menerawang. Dia hanya mengerti satu dua dari perkataan Satria. Maya hanya mengerti sedikit dari banyak kata yang diucapkan oleh pengamen jalanan di perempatan Selokan itu. Rednan itu teman satu kelas Maya. Satria itu pengamen yang secara tidak sengaja bertemu dengan Maya gara-gara aksi pencopetan itu. Satria yang hitam. Satria yang suka berkata kasar. Satria yang selalu apa adanya.
“ Lo bilang ayu ayu? Gue ayu Sat?” tanya Maya. Sialan, gue dicuekin, batin Rednan.
“ Salah ngomong aku!” ralat Satria cepat.
“ Hahaha…” tawa Maya melengking. Satria mengacak-acak rambut Maya. Maya itu cantik. Maya itu punya mata yang indah. Maya itu punya kumis tipis di atas bibirnya. Persis seperti adiknya, Rosi. Maya semakin mirip Rosi ketika dia memesan teh anget, minuman kesukaan Rosi. Maya itu Rosi, Maya itu adiknya. No more. Dan adik bagi Satria adalah segalanya, karena dia tidak berayah dan beribu. Dan dia tidak ber-Rosi lagi setelah tabrak lari beberapa bulan yang lalu. Shit! Dan polisi bahkan tidak mengejarnya. Polisi itu tai! Hanya gara-gara Satria tidak punya uang, harta benda. Pemerintah itu sama busuknya dengan polisi! Satria membenci pemerintah!
“ May, kamu ngga mau makan nasi kucing?” tanya Rednan. Maya hanya menggeleng. Kenapa Maya tidak pernah merasakan getaran hati Rednan? Selama ini untuk apa dia baik dengan Maya, mengorbankan waktu tidur malamnya untuk mendengarkan curhatan Maya tentang kedua orangtuanya yang selalu menyepelekan Maya? Selama ini untuk apa ucapan met tidur dan kangen yang Rednan kirimkan ke Maya lewat sms? Selama ini kurang perhatian apa Rednan ke Maya? Selama ini Maya pikir tatapan mata Rednan itu kenapa? Beleken? Trimbilen? Itu tatapan kagum! Kagum atas ketegaran Maya yang rela kabur dari pengintaian Papanya. Meski kuliah, Maya tidak pernah lagi mendapat kiriman uang dari Papanya. Maya mengerjakan apa aja yang bisa menghasilkan uang. Jualan pulsa, jual baju di Sunmor, ngamen. Baginya, asal bukan jual diri aja. Rednan merinding kalo mengingat betapa gadis manis itu berjuang sendiri untuk hidupnya.
Maya menerawang jauh, menatap jalanan samping stasiun Tugu yang selalu ramai. Lalu lalang kendaraan membuat pikirannya terus berputar. Dia punya segalanya, tapi dia membuang segalanya. Dia hanya ingin diperhatikan, dia ingin disayang.
Rednan juga menatap aspal yang diam. Tidak ada riak dan gelombang dalam pikirannya. Rednan begitu tenang. Dia begitu diam. Dia begitu terpukul. Dia sangat menyayanginya, dia mengagumi dia.
Rosi. Rosi selalu ada di pikiran Satria. Satu-satunya yang selalu ceria menggelayut manja di lengannya. Rosi yang telah dipanggil Tuhan. Rosi yang jadi korban kekejaman jaman. Ah, seandainya dia tidak bertemu dengan Maya, mungkin hidupnya juga hanya berupa maya saja. Tapi Maya itu maya. Dan dia bukan Rosi yang nyata.
Satria, seandainya lo tau gimana perasaan gue sama elo. Seandainya lo tau dibalik kata-kata gue yang lo ngga suka, ada sayang yang terselip di tiap jedanya. Ada rindu yang tersimpan di setiap spasinya. Kenapa lo ngga ngerti juga? Di tatapan mata gue selalu ada rasa kagum buat lo. Lo yang berjuang sendiri buat hidup lo. Lo yang selalu tegar, yang gue copas (copy paste) dalam diri gue…Maya. Maya selalu berpikir seperti itu.
Maya…Maya Maya dan Maya. Kenapa kamu ngga pernah mengenal aku? Mengenal parasaanku? Mencoba mengerti arti rinduku padamu? Rednan serasa bagai orang yang putus asa. Putus asa karena cinta bertepuk sebelah tangannya.
Tapi ketiganya adalah orang yang mencoba bertahan. Bertahan dengan semua gejolak jiwa muda, bertahan dari kerapuhan masa depannya. Raga mereka letih, tapi semangat mereka tidak pernah padam. Seperti arang yang tercelup di dalam kopi joss. Cess…itu jelas bukan mereka.
Gojess…gojess…gojess…
“ Woy…pada roaming gua kagak ngarti!” Satria membekap mulut Maya sekali lagi.