Januari 09, 2013

Februari dan Berhentinya Detak Sebuah Janji (4)



Keesokan paginya, sebuah surat mendarat di meja kasirku. Pukul sembilan pada tanggal dua puluh enam. Aku mual membaca nama pengirimnya. Dondi Himawan. Ini tidak beres. Pelan-pelan kubuka isinya:

Dear Cici Runia,
Terima kasih telah mengajarkan aku sedikit kehidupan yang tertinggal secara kasat mata. Sudah lama aku hidup dalam hingar bingar hedonisme hingga melupakan detil kecil seperti laut dan gunung. Dongeng indah Cici tentang garis cakrawala dan sentuhan gunung dan langit membuatku bergairah lagi memperhatikan detil-detil kecil dalam kehidupan
Cici, maafkan aku kalau aku sudah menyakiti perasaan Cici, tapi ciuman di pantai beberapa hari yang lalu adalah ketulusan yang secara mendadak menyeruak dari kepalaku. Aku memang ingin mencium Cici, satu-satunya orang yang mengajariku bagaimana menghargai kehidupan.
Tadinya aku pikir kehidupan adalah tentang kelahiran, pertemuan, kemudian perpisahan. Tapi Cici mengajariku bagaimana kesederhanaan adalah bagian dari kehidupan. Sejak hari itu, aku sering memikirkan Cici.
Cici yang tidak pernah mengenal dunia. Cici yang selalu memberi senyuman pada setiap orang. Cici yang mengajariku bagaimana berbagi dengan sesama. Cici yang membuatku menghargai ciptaanNya. Cici yang membuatku belajar. Cici yang membuatku jatuh cinta.
Sulit bagiku untuk melihat semua itu dengan kedua orang tua yang sudah berpisah. Mama di Jogja, Papa di Jakarta dengan istri barunya. Aku terbiasa hidup dengan mengutuk pertemuan. Tapi pertemuan dengan Cici membuka kembali mata yang lama tertutup tirani. Bersyukur karena telah mengalami, bukan mengutuk karena ditinggal pergi.
Cici membuat aku berterimakasih, karena setidaknya aku tahu Papa pernah sayang padaku dan Mama. Maafkan aku yang lancang ini Ci, Cici boleh marah. Tapi jatuh cinta ini memang tidak perlu ditangkap olehmu. Aku jatuh cinta dengan perasaanku, bukan dengan perasaan Cici. Cici yang tidak membalas cintaku tetap membuatku jatuh cinta. Cici yang apa adanya, yang menghargai hidup dengan kesederhanaan.
Boleh aku masuk ke dunia Cici?


Dondi

Oh Dondi. Sekarang aku nggak tahu harus bilang apa. Aku harus bagaimana? Aku menghela nafas panjang. Menjelang kematianku, kenapa harus ada persoalan-persoalan rumit seperti ini? Aku merasa mengkhianati Alena dengan surat Dondi barusan.
Sepasang Nenek dan Kakek langganan datang lagi kali ini. Seperti biasa, mereka memesan teh ginseng dan teh sereh. Setelah membuatkan pesanan mereka, aku kembali melamun di meja kasir dengan surat yang masih kupegang, entah akan kuapakan.
“Cici, kenapa melamun terus? Murung sekali mukamu hari ini?” tanya Nenek.
“Saya nggak kenapa-napa kok Nek.”
“Mukamu ndak bisa berbohong. Sini duduk di sebelah Nenek, Nenek pengen dengar ceritamu,” tawar Nenek. Aku menurutinya, duduk di semeja dengan Nenek dan Kakek.
“Sudah lama Kakek ndak ketemu sama cucu Kakek. Pasti sekarang sudah sebesar kamu, Ci,” ujar Kakek sabar.
“Nenek, Kakek, ada sesuatu yang sedang saya pikirkan, sebenarnya,” aku membuka suara. Dan cerita mengenai Dondi dan suratnya mengalir dengan tenang melewati celah telinga Nenek dan Kakek. Usai mendengar ceritaku, mereka berdua tersenyum dan tertawa pelan.
“Nenek, Kakek, apanya yang lucu?” tanyaku.
“Ceritamu. Aneh sekali kamu, ada orang yang mencintaimu kok malah sedih,” Nenek.
“Nek, lihat Nek, siapa yang jatuh cinta pada saya. Ini Dondi, Nenek,” kilahku.
“Coba Nenek tanya, siapa yang tidak jatuh cinta pada gadis baik dan cantik seperti kamu? Maksud Nenek, berapa persen dari keseluruhan wanita di dunia ini yang memiliki hati dan raga secantik kamu? Kemurahan hati, keramahan, kesetiaan, kesederhanaan. Apalagi kebaikan hidup yang tidak kamu punya, Cici?” jelas Nenek. Aku tidak akan punya umur panjang, Nek. Aku melipat surat dari Dondi dan menyelipkannya di saku rok terusanku.
“Sebaiknya Alena jangan sampai tahu,” ujarku.
“Bukan salah kamu Dondi jatuh cinta padamu. Cinta tidak bisa memilih, cinta Dondi yang milik Dondi, kamu ndak berhak membelokkannya. Masa iya kamu tega membelokkan perasaan orang?” timpal Kakek.
“Terus saya harus gimana, Nek, Kek?”
“Bersikaplah baik pada Dondi, seperti kamu bersikap baik sama Nenek dan Kakek. Keutamaan orang ada pada sikap dan akhlaknya antar sesama. Kamu ndak berhak marah sama dia karena dia jatuh cinta sama kamu.” Nenek.
“Dan berbahagialah, hidupmu telah membuat orang lain bahagia. Orang lain seperti Dondi, Nenek, dan Kakek,” kali ini Kakek yang tersenyum.

Februari dan Berhentinya Detak Sebuah Janji (3)



*


Aku teringat-ingat perkataan Dondi. Aku mahir bercerita. Tapi apa yang akan aku ceritakan pada Alena? Tentang ajakanku ke Dondi ke pantai? Bukan itu maksudku. Aku ingin Dondi menemui jalan untuk menyampaikan rasa cintanya pada Alena. Tapi kenapa malah aku harus menyembunyikan cerita dari Alena?
“Ci, kenapa sikap Dondi ke aku berubah ya?” cerita Cici suatu waktu. Sejak malam itu, aku dan Alena sering tidur bersama dalam satu ranjang. Kami melakukan ritual kakak-adik dengan hangat. Berdoa bersama, bercerita tentang cinta, kadang menggelitiki satu sama lainnya.
“Apa mungkin ada perempuan lain yang Dondi sukai selain aku ya?” tanyanya lagi.
Aku teringat dengan sebuah amplop cokelat berukuran sedang yang dikirimkan melalui paket pos, yang berisi foto-foto senja dan gunung. Aku tidak mau menebak siapa pengirim paket misterius tak bernama ini. Hanya ada sebuah kesimpulan: jelas ini Dondi. Aku tidak mau ini berasal dari Dondi.
“Alena, kamu gadis yang cantik, pasti ada banyak orang yang mengejar-ngejar kamu. Jangan kamu pikirkan Dondi terus.”
Alena menatapku dengan sayu. Aku jadi semakin bersalah padanya.
“Begini Alena, anggaplah dibalik sebuah tembok ada Rahasia Indah yang hanya bisa kamu temui setelah melewati tiga pintu yang terkunci. Kamu hanya punya satu kunci, jadi kamu harus menemui pintu yang pas dengan kunci kamu untuk bisa melewati tembok ini dan bertemu dengan Rahasia Indah. Kamu mencoba pada satu pintu yang bernama Dondi, dan ternyata kunci yang kamu punya tidak pas.”
“Kalo kamu terus saja memaksakan kuncimu pada Pintu Dondi, jelas usahamu hanya akan sia-sia, tapi kalo kamu mencoba kunci itu pada dua pintu yang lain, niscaya akan ada satu yang paling cocok dengan kuncimu,” lanjutku.
“Jadi, apa Rahasia Indah itu, Ci?” tanya Alena.
“Cinta.”
Alena tersenyum.
“Cici baru saja mendongengi aku tentang cinta. Cinta adalah Rahasia Indah?” tanya Alena dengan manja.
Aku mendongengi dua orang yang dimabuk cinta dengan cerita yang berbeda, dan aku membuat cinta diantara mereka memudar begitu saja. Tuhan, maafkan aku yang maha merusak segalanya ini. Maafkan Cicimu ini Alena. Cicilah yang membuat Dondi menjadi pintu yang salah untukmu.
Kupeluk Alena kuat-kuat, menghirup aroma rambut Alena. Aku yang sekarat masih saja berbuat dosa. Semoga kelak Tuhan mengampuni semua dosaku.
Aku mahir bercerita.
Dan berbohong.


*


“Cici, aku berangkat kuliah dulu ya! Jangan lupa mengambil bakpao di Koh Siang ya, sama bayarin pulsa aku sekalian ya,” Alena menyelampirkan tasnya dan berjalan cepat ke arah satu-satunya motor yang kami punya.
“Hati-hati, Alena,” pesanku.
Pagi ini aku berjalan-jalan mengitari Ketandan, dan mampir di toko bunga Bapak Rejeki. Iseng-iseng aku membeli bunga mawar dalam pot, beberapa tangkai mawar merah dan bunga sedap malam. Mawar dalam pot itu sudah aku tata di teras depan, dekat dengan pintu masuk kafe. Tangkai-tangkai mawar merah dan sedap malam ini sedang aku tata pada vas keramik meliuk yang tinggi memanjang dengan gambar perahu dan beberapa pelaut. Aju jadi ingat dengan lambang jangkar yang ada di hampir semua rumah di Ketandan tempat aku tinggal ini. Kampung Ketandan, kampung Pecinan.
“Aha, mawar dan sedap malam!” Koh Siang masuk ke toko kami.
“Selamat siang Koh, baru saja saya mau ke rumah Kokoh buat ambil bakpao, malah Kokoh udah kesini duluan,” jawabku.
“Sekalian mampir, mau ke pasar juga soalnya. Ini bakpao kacang hijau dan daging ayam pesananmu, Ci.” Koh Siang meletakkan senampan penuh bakpao yang masih mengebul. Segera aku terima dan aku gantikan wadahnya ke dalam panci stainless yang sekaligus pemanas, agar bakpao-bakpao itu tidak kedinginan.
“Nampannya titip sini dulu saja ya Ci, malas bawa-bawa nampan ke pasar,” pesan Koh Siang.
“Baik Koh, saya simpankan dulu. Uhuk... uhuk... uhuk... uhuk!” tiba-tiba dadaku sakit dan nyeri bukan main. Rasanya susah sekali bernafas, susah mengeluarkan nafas juga. Reflek aku berpegangan pada vas bunga dengan rangkaian setengah jadi itu. Tak kuat rupanya menahan berat tubuhku, vas itu ambruk, menggelinding di atas meja kasir.
Tapi Koh Siang segera menangkap vas itu, dan menggamit lenganku.
“Cici, kamu ndak papa?” tanya Koh Siang khawatir. Aku hanya menggeleng, masih berusaha mencari-cari oksigen diantara nitrogen-nitrogen yang memabukkanku siang ini. Sakit sekali rasanya. Aku menutup mataku, barangkali ini saatnya aku akan mati.
Tanganku yang bebas meraba-raba laci paling bawah dari meja kasir ini, mencari tablet-tablet pengusir rasa sakit ini sambil mengingat-ingat, apakah pagi tadi aku sudah minum obat.
“Cici, aku ambilkan air putih dulu!” Koh Siang beranjak menuju bar kayu sederhana dan menuangkan segelas air putih untukku. Aku buka penutup obatku, dan menumpahkan isinya di atas meja. Tanganku bergetar hebat, antara menahan nyeri dan sakitnya dadaku, dan menahan tubuhku agar tidak limbung. Kanker paru-paru stadium tiga, otakku menyerukan kalimat itu berulang-ulang.
Darah segar menyeruak diantara batuk-batukku, tertahan di tanganku.
“Ini Ci, diminum dulu,” Koh Siang menyodorkan segelas air putih. Kuambil sebutir tablet berwarna merah muda itu, dan segera meminumnya.
Koh Siang hening di depanku. Aku juga terdiam.
Masih kaget dengan apa yang terjadi, aku mengumpulkan waktu untuk menyembuhkanku. Lima menit. Sepuluh menit.
“Cici sudah baikan?” tanya Koh Siang. Aku menerawang, kemudian fokus memandang wajah Koh Siang.
“Tolong jangan beritahukan hal ini kepada Alena, Koh,” ujarku masih bergetar. Sisa-sinya nyeri itu tidak mau hengkang dari dadaku rupanya. Tapi hidungku sudah mau menangkap oksigen seperti yang dimaui tubuhku.
Koh Siang terdiam di tempatnya berdiri. Aku memandang wajahnya nanar.
“Batuk Cici berdarah... Cici TBC?” tanya Koh Siang. Aku menggeleng pelan.
Airmataku perlahan mengalir. Di depan Koh Siang aku memohon agar rahasia ini tidak bocor kemana-mana.
“Barusan yang saya minum obat kanker, Koh,” Koh Siang terkesiap mendengar jawabanku.
“Ya Tuhan... Cici harus segera berobat ke dokter!” dorong Koh Siang. Aku menggeleng.
“Nggak Koh! Kokoh, saya mohon, ini hanya antara saya dan Kokoh,” aku memegang tangannya. Koh Siang sekali lagi tertegun, dan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.


*

Februari dan Berhentinya Detak Sebuah Janji (2)



Deburan ombak. Suara itu terdengar mistis di telingaku. Seperti apa rasanya dilarung ketika kita sudah menjadi abu kelak? Menyatu dengan ombak, menerjang karang, dan mungkin meninggalkan sepercik abu pada lubang-lubang kecilnya. Tuhan mungkin sudah mengangkat roh kita ke nirwana, tapi bagaimana dengan sisa-sisa ragawi yang ada di dunia?
“Ada apa dengan pantai?” tanyaku ketika Nana membawaku ke Pantai Parangtritis. Dia menunjuk cakrawala yang sedikit menyemburatkan warna oranye berpadu gelapnya mendung.
“Batas langit dengan laut?”
“Langit, laut, memiliki awalan huruf yang sama, dan akhiran yang berbeda. Lihat, keduanya berakhir pada titik itu,” Nana masih tetap menunjuk.
“Cakrawala?”
“Cakrawala adalah garis mistis yang menyentuhkan. Langit ada di atas, laut jauh di dasar daratan. Mereka bertemu, bercumbu pada titik cakrawala itu dan menciptakan keindahan yang sering disebut senja.”
“Senja di cakrawala, tidak hanya dihadiri oleh langit dan laut saja. Tapi siang dan malam. Matahari dan bulan. Pertemuan tentang segala hal yang paradoks, dan menghasilkan harmoni yang diiringi oleh debur ombak yang bertemu dengan karang, pasir pantai, dan sepasang manusia yang dimabuk asmara,” lanjut Nana.
Aku terdiam di samping Nana, memperhatikan garis cakrawala yang Nana tunjuk-tunjuk dari tadi. Aku melihat Laut adalah aku, dan Langit adalah Mas Pram. Sama-sama jauh oleh jarak. Tapi dimana garis mistis  yang menyentuhkan kita berdua?
“Wow... kamu hebat. Kamu tipe orang yang romantis ya?” tanyaku.
“Memangnya pacarmu nggak pernah mendongengkan hal romantis ke kamu?”
Aku tersenyum. Kemudian senyumku semakin lebar.
“Jadi ini hanya dongeng?” tanyaku memastikan.
“Iyalah, kamu pikir ini beneran? Hahaha... Nggak kok Cici, aku nggak bohongin kamu kok. I meant it,” Nana tertawa, kemudian tersenyum.  
Semburat oranye terpantul dari matahari sore yang setengah terbenam. Semuanya tampak sempurna, langit, laut, matahari, bulan, ombak, karang, dan pasir pantai. Seandainya yang duduk di sampingku ini Mas Pram, bukan Nana.
“Cici masih betah menunggu Mas Pram?” aku mengangguk.
“Cici, maaf sebelumnya, bukannya aku ikut campur. Tapi, bila kapan terakhir kali Cici dan Mas Pram ketemu saja kalian lupakan, bagaimana kalian akan ingat kapan kalian akan bertemu kembali? Pertemuan adalah sebuah pengulangan, dan pengulangan tidak pernah berhasil tanpa tau aturan deret bilangannya.”
Mungkin Nana benar. Mungkin Nana salah. Mungkin aku yang salah menafsirkan. Waktu, kamu mengkhianatiku lagi. Januari berjalan terlalu cepat, mungkin itu sebabnya Mas Pram tidak bisa mengejar Januari untuk menemuiku disini.
Kupandang garis cakrawala yang masih menyemburat oranye dengan sempurna. Ada keresahan disana. Ada yang tidak tersampaikan antara Langit dengan Laut.

Aku... ingin berdua denganmu...
Tapi aku hanya melihat keresahanmu...

Samar terdengar lirik lagu Payung Teduh dari radio yang menyala-nyala dari warung-warung penjaja minuman di sepanjang pantai. Nana menyentuh tanganku, mencoba memberikan ketenangan yang selalu dia punya.
“Aku pernah merasakan apa yang Cici rasakan, Cici harus percaya kalo cinta itu selalu ada di diri Cici. Itu yang Cici harus yakini.”
Aku mengangguk.


*


Keesokan harinya, aku mengajak Dondi ke pantai yang sama. Aku ceritakan tentang dongeng cinta seperti yang Nana ceritakan hari itu, lengkap dengan Langit, Laut, Matahari, Bulan, Ombak, Karang dan Pasir pantai. Dondi mendengarkanku dengan sepenuh hati, kemudian matanya berbinar.
“Cici, aku nggak nyangka, ternyata Cici mahir bercerita!” Dondi terlihat antusias. Aku tersenyum, kemudian aku lanjutkan dongeng senja ini dengan sebuah kesimpulan yang aku buat sendiri.
“Pernah berpikir bahwa apa yang Tuhan ciptakan ini adalah perwujudan cinta itu sendiri?” tanyaku.
“Coba kamu perhatikan gunung, langit dan awan. Gunung yang berbentuk cawan terbalik adalah lambang laki-laki dalam sejarah kuno. Dan langit, birunya indah dan terlindungi awan, adalah lambang feminisme wanita. Biru berusaha menggapai langit, dan lihat!” aku menunjuk ke arah utara, arah yang berseberangan dengan cakrawala, dan mendapatkan Gunung Merapi menyembul dengan awan-awan mendung di badannya. Mencumbu langit yang mengkelabu karena senja. Karena semua cahaya telah tersedot oleh cakrawala hingga menghasilkan oranye yang indah.
Dondi menatapku lekat-lekat. Dia pasti akan mengucapkan terima kasih untukku.
Tapi tidak. Dondi mengecup pipiku dengan lambat.
Kemudian dia tersenyum.