Januari 09, 2013

Februari dan Berhentinya Detak Sebuah Janji (2)



Deburan ombak. Suara itu terdengar mistis di telingaku. Seperti apa rasanya dilarung ketika kita sudah menjadi abu kelak? Menyatu dengan ombak, menerjang karang, dan mungkin meninggalkan sepercik abu pada lubang-lubang kecilnya. Tuhan mungkin sudah mengangkat roh kita ke nirwana, tapi bagaimana dengan sisa-sisa ragawi yang ada di dunia?
“Ada apa dengan pantai?” tanyaku ketika Nana membawaku ke Pantai Parangtritis. Dia menunjuk cakrawala yang sedikit menyemburatkan warna oranye berpadu gelapnya mendung.
“Batas langit dengan laut?”
“Langit, laut, memiliki awalan huruf yang sama, dan akhiran yang berbeda. Lihat, keduanya berakhir pada titik itu,” Nana masih tetap menunjuk.
“Cakrawala?”
“Cakrawala adalah garis mistis yang menyentuhkan. Langit ada di atas, laut jauh di dasar daratan. Mereka bertemu, bercumbu pada titik cakrawala itu dan menciptakan keindahan yang sering disebut senja.”
“Senja di cakrawala, tidak hanya dihadiri oleh langit dan laut saja. Tapi siang dan malam. Matahari dan bulan. Pertemuan tentang segala hal yang paradoks, dan menghasilkan harmoni yang diiringi oleh debur ombak yang bertemu dengan karang, pasir pantai, dan sepasang manusia yang dimabuk asmara,” lanjut Nana.
Aku terdiam di samping Nana, memperhatikan garis cakrawala yang Nana tunjuk-tunjuk dari tadi. Aku melihat Laut adalah aku, dan Langit adalah Mas Pram. Sama-sama jauh oleh jarak. Tapi dimana garis mistis  yang menyentuhkan kita berdua?
“Wow... kamu hebat. Kamu tipe orang yang romantis ya?” tanyaku.
“Memangnya pacarmu nggak pernah mendongengkan hal romantis ke kamu?”
Aku tersenyum. Kemudian senyumku semakin lebar.
“Jadi ini hanya dongeng?” tanyaku memastikan.
“Iyalah, kamu pikir ini beneran? Hahaha... Nggak kok Cici, aku nggak bohongin kamu kok. I meant it,” Nana tertawa, kemudian tersenyum.  
Semburat oranye terpantul dari matahari sore yang setengah terbenam. Semuanya tampak sempurna, langit, laut, matahari, bulan, ombak, karang, dan pasir pantai. Seandainya yang duduk di sampingku ini Mas Pram, bukan Nana.
“Cici masih betah menunggu Mas Pram?” aku mengangguk.
“Cici, maaf sebelumnya, bukannya aku ikut campur. Tapi, bila kapan terakhir kali Cici dan Mas Pram ketemu saja kalian lupakan, bagaimana kalian akan ingat kapan kalian akan bertemu kembali? Pertemuan adalah sebuah pengulangan, dan pengulangan tidak pernah berhasil tanpa tau aturan deret bilangannya.”
Mungkin Nana benar. Mungkin Nana salah. Mungkin aku yang salah menafsirkan. Waktu, kamu mengkhianatiku lagi. Januari berjalan terlalu cepat, mungkin itu sebabnya Mas Pram tidak bisa mengejar Januari untuk menemuiku disini.
Kupandang garis cakrawala yang masih menyemburat oranye dengan sempurna. Ada keresahan disana. Ada yang tidak tersampaikan antara Langit dengan Laut.

Aku... ingin berdua denganmu...
Tapi aku hanya melihat keresahanmu...

Samar terdengar lirik lagu Payung Teduh dari radio yang menyala-nyala dari warung-warung penjaja minuman di sepanjang pantai. Nana menyentuh tanganku, mencoba memberikan ketenangan yang selalu dia punya.
“Aku pernah merasakan apa yang Cici rasakan, Cici harus percaya kalo cinta itu selalu ada di diri Cici. Itu yang Cici harus yakini.”
Aku mengangguk.


*


Keesokan harinya, aku mengajak Dondi ke pantai yang sama. Aku ceritakan tentang dongeng cinta seperti yang Nana ceritakan hari itu, lengkap dengan Langit, Laut, Matahari, Bulan, Ombak, Karang dan Pasir pantai. Dondi mendengarkanku dengan sepenuh hati, kemudian matanya berbinar.
“Cici, aku nggak nyangka, ternyata Cici mahir bercerita!” Dondi terlihat antusias. Aku tersenyum, kemudian aku lanjutkan dongeng senja ini dengan sebuah kesimpulan yang aku buat sendiri.
“Pernah berpikir bahwa apa yang Tuhan ciptakan ini adalah perwujudan cinta itu sendiri?” tanyaku.
“Coba kamu perhatikan gunung, langit dan awan. Gunung yang berbentuk cawan terbalik adalah lambang laki-laki dalam sejarah kuno. Dan langit, birunya indah dan terlindungi awan, adalah lambang feminisme wanita. Biru berusaha menggapai langit, dan lihat!” aku menunjuk ke arah utara, arah yang berseberangan dengan cakrawala, dan mendapatkan Gunung Merapi menyembul dengan awan-awan mendung di badannya. Mencumbu langit yang mengkelabu karena senja. Karena semua cahaya telah tersedot oleh cakrawala hingga menghasilkan oranye yang indah.
Dondi menatapku lekat-lekat. Dia pasti akan mengucapkan terima kasih untukku.
Tapi tidak. Dondi mengecup pipiku dengan lambat.
Kemudian dia tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar