Januari 07, 2012

Akhir


It's way too late to think of
Someone I would call now
And neon signs got tired
Red eye flights help the stars out
I'm safe in a corner
Just hours before me

Ternyata anginpun mengerti. Aku sedang mengalami pergolakan diri. Tentang sebuah rasa, sebuah cerita. Kalaupun memang harus begini pada ujung takdirnya, kurasa memang harus belajar membuat diri rela. Aku hanya tertunduk, terdiam, terasa…

**

Aku dan kamu berhadapan. Aku dan kamu saling diam. Aku tau, nanar tatapmu menuju ke sudut atas dinding yang teronggok di belakangku, tegak. Tapi mata hatimu, entahlah, dimana kini? Aku menatap hampa pada pergelangan tangan yang terus kukepal. Helaan napas terasa semakin berat saja. Tapi untuk mengeluarkan mutiara airmata, bahkan sudahpun tak mampu.
“ Kamu yakin?” begitu tanyamu. Aku terus meyakinkan hati bahwa semua ini tidaklah abadi. Sesal sebesar apapun tak akan mampu menerjang keyakinanku. Aku mengerti betul bagaimana perasaanku, sedihku, senangku, tangisku, kamu.
                “ Aku… yakin…” jawabku tak yakin. Seruak rindu tiba-tiba datang menghadang langkahku. Rindu kebersamaan, rindu ingin dicumbu rasa tak tentu sehari tiada cerita hidupmu mampir di telingaku. Rindu bergandengan tangan di bawah pohon rambutan di taman tengah kota, berdua menikmati es kelapa muda. Rindu mendengarmu bercerita tentang mimpimu yang telah kau lepas pergi menjauh dari benua tempat kau berpijak. Rindu menikmati hidup, denganmu tentu.
Rindu menjadi wanita yang kau cintai dengan sepenuh hati, meski dengan setengah sembunyi.
“ Menurutmu, langkahmu sudah benar?” tanyamu lagi.
Jangankan benar atau salah, kiri dan kanan saja serasa sulit dikenali! Suasana hati perih sekali, seperti terajam jeruji besi. Tapi sebagai seorang wanita yang menghormati adab berkawan setia, aku harus mengesampingkan keseluruhan hidupku. Mengesampingkan kebahagianku. Merelakan kamu.

**

I'm waking with the roaches
The world has surrendered
I'm dating ancient ghosts
The ones I made friends with
The comfort of fireflies
Long gone before daylight

Betapa sulitnya menghapus kenangan paling paradoks dalam hidup. Kenangan paling tabu, sekaligus kenangan paling ingin kuhirup. Seperti menghirup wangi kopi dari kerah bajumu, seperti menghirup kelopak bunga layu yang kau berikan padaku. Seperti menghirup kebahagiaan berdua denganmu, meski dengan embel-embel kisah yang saru.
Deburan ombak itu masih berlarian di kakiku, menghibur desau sedihku yang merosot sampai jauh ke dalam hati paling ujung. Aku tersenyum. Ada sebuah kelegaan yang datang tanpa perlu diundang. Kelegaan yang berbalutkan perih yang luar biasa mengiris.

And if I had one wish fulfilled tonight
I'd ask for the sun to never rise
If God leant his voice to me to speak
I'd say go to bed, world

**

Kamu menyentuh ujung jariku, membelai lembut di tengah pergolakan keras hatimu. Jasmu masih wangi, masih tersemat sebuah bunga putih nan cantik di saku bagian kanan atas. Ada sebuah syahdu melihatmu mengenakan baju resmi untuk mempelai pria. Tentu kamu terlihat tampan luar biasa. Wajahmu licin bersih, dan rambutmu rapi jali. Sapuan make up tipis membuat dirimu semakin mencuri perhatianku. Tapi aku tahu, semua itu tabu.
“ Aku tidak seberani yang kamu harapkan, aku bukan ksatria yang kamu inginkan. Aku tidak pantas menjadi lelaki. Aku bahkan tidak bernyali mengakui hati sendiri,” kamu berkata sedih.
“ Tapi ini untuk kebaikan kita. Dari awal kita sudah salah, sudah tak bisa menjadi halal.” Matamu berkaca-kaca.
“ Aku yang membiarkan dirimu pergi, semua bukan karena keputusanmu. Ini semua aku, it’s all about me,” kudengar bibirku berbicara lantang. Aku ingin mengeluarkan semua berat yang terkubur dalam rasa, aku ingin menghilangkan bayang gelap yang terselubung dalam setiap helah nafas. Life must go on, dan aku menghirup napas panjang.
“ I will always love you. Always…” bibirmu berkata lirih. Sebuah kata cinta yang pertama. Dan mungkin terakhir.
“ I will always love you. Always…” aku kembali membalas cintanya. Membalas kata cintanya untuk yang pertama, dan mungkin yang terakhir pula. Dan aku meledak, aku semakin meledak kala dia melangkah menjauh. Kakiku gontai menyangga beban tubuhku. Tak menyangka akan sesakit ini menyaksikan lelaki yang kucintai menikahi gadis lain. Aku menggontai, dan aku meledak. Dalam tangis yang tak berkesudahan.

**

I've always been too late
To see what's before me
And I know nothing sweeter than
Champaign from last New Years
Sweet music in my ears
And a night full of no fears

Dan aku meledak. Meledak hingga malam hendak hilang ditelan terang. Dan aku meledak dalam pantai yang berdebur terhantam ombak. Dan aku meledak dalam hilang, dalam hilangnya cintaku. Mungkin inilah yang selama ini aku nantikan, meledak dalam tangis yang akhirnya menarik keluar semua rasa. Entah sedih, entah bahagia, entah cinta. Entah dia, entah rasa, entah segala, entah semesta.
Maka akupun hilang. Aku ingin menjadi hambar saja, ingin tak merasa. Setiap senti tubuhku kurasa tenggelam. Deburan ombak kurasa tadi menggelitik kakiku, kini terasa lembut menerpa wajahku. Ada ragu yang sekelebat menjemput, tapi ternyata hanya sebuah sambil lalu yang tak sengaja menampar wajahku, namun tak pilu. Aku tersenyum, aku akan kebas, aku akan bebas. Maka maafkanlah segala rasa, kurasa semua hanya akan membuat hidupku berhenti di suatu titik. Tapi, bukankah kita pernah berjanji akan meregang nyawa bersama?
Aku menutup mataku, berharap kaupun akan begitu. Tapi maafkanku sekali lagi, bila aku mendahului…

But if I had one wish fulfilled tonight
I'd ask for the sun to never rise
If God passed a mic to me to speak
I'd say stay in bed, world
Sleep in peace
(No Sleep - The Cardigans)
9.01 p.m
Dsn. Gondang, Ds. Wukirsari Kec. Cangkringan
July 6th 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar