Mei 30, 2016

Nihilisme Itu Mulai Nyata

"Lo tahu nggak, saking takutnya seorang makhluk terhadap apa yang dihadapinya, dia akan cenderung memilih untuk kabur. Seperti yang selalu terjadi antara rusa dengan singa."

Kata-kata dari majalah wanita gaul tersebut terngiang-ngiang terus di telingaku. Apakah kita, makhluk hidup, merupakan makhluk yang pengecut? Keberanian tidak pernah berubah makna dari hanya sebuah kata. Kamu pengecut, kataku pada gadis di dalam cermin.

Gadis itu mengkerut membayangkan hal-hal yang dia takutkan. Kehidupan yang penuh tetek bengek kegiatan sosial itu membuatnya takut. Dia memilih bersembunyi di dalam cermin, selamanya. Brengsek kau, sini kau gantikan aku! Sini kau gantikan aku menghadapi manusia-manusia di luar rumah yang mempunyai lidah setajam pisau daging, hati sedingin suhu terendah di kutub utara, dan mata yang melototimu seolah ingin menelanjangimu! Aku ingin bersembunyi saja, selamanya.

Tapi tentu tidak bisa. Hari Senin ini aku harus ke kantor. Kegilaan Istri Arkana Jumat kemarin masih meninggalkan bekas perih di hatiku. Sepertinya Tuhan tidak belajar dari kisahku beberapa tahun silam. Luka itu masih belum kering, Tuhan. Mengapa Engkau ciptakan luka lain di hatiku saat ini?
Jauh sebelum Tragedi Fritz, ya, aku memiliki momen tersendiri dengan menamainya Tragedi Fritz, hidupku sudah penuh dengan tragedi. Bukan, aku bukan tokoh utamanya. Tapi tengoklah Kakek. Kakek sampai harus lari ke Inggris untuk menghindari rasa sakit yang tidak pernah bisa sembuh itu.

Aku pernah kehilangan Ibu yang tidak sanggup hidup dengan Bapak yang merupakan seorang anak ex-Tapol. Iya, Kakekku adalah salah satu tahanan di Pulau Buru yang setelah 15 tahun masa penahanannya, dia tidak pernah tahu kesalahannya apa.
Mungkin aku tidak sesengsara Kakek yang harus merasakan penjara selama 15 tahun. Aku hanya diteriaki sebagai wanita perusak rumah tangga orang di depan teman-teman kantorku. But how bad is bad

Gadis di depanku memandangku sinis. Hah, tentu saja dia bisa memandangi aku yang hidup di dunia yang penuh manusia ini dengan raut muka suka-suka dia. Dia tidak pernah merasakan bagaimana susahnya memaafkan, bagaimana susahnya melupakan, dan bagaimana susahnya untuk tidak teringat kembali dengan kenangan-kenangan buruk itu. Bagaimana sakitnya membuat kenangan saat momen-momen itu berhenti berproduksi. Tentu dia tidak akan pernah merasakan hidup diluar cermin. Ingin aku berpindah media hidup dengannya sekali ini. Sekali ini saja, biarkan aku tinggal di cermin, dan bayanganku itu menggantikanku berkompromi dengan manusia-manusia yang suka mencibir diluar sana.

"Nala?!" Bapak memanggilku berteriak. Aku tergopoh-gopoh keluar kamar. Kusaksikan Bapak masih duduk di kusi rodanya dengan nyaman dalam diam sambil membaca korannya.
"Ada apa, Pak?" tanyaku sedikit kesal.
"Tehnya sudah mulai dingin lho. Kamu juga seharusnya sudah berangkat, kenapa masih di rumah saja?" tanya Bapak perhatian.
"Ini Nala sudah mau berangkat, Pak," aku merapikan tasku.
"Kok kamu pucat sekali? Ndak bedakan ya pagi ini?" sudah Pak. Aku sudah bedakan, kemudian aku hapus lagi. Untuk apa bedakan kalau hanya akan diahina sebagai orang ketiga nantinya di kantor?
"Sudah Pak. Nala berangkat dulu ya. Assalamualaikum."
Dan aku melesat keluar.

*

Beberapa jam yang tenang di kantor tiba-tiba kembali riuh. Semua berawal dari pesan dari rekan kerjaku, katanya aku ditunggu di ruangan Pak Direksi sekarang juga. Bisik-bisik yang kudengar sungguh menyakitkan.
"Eh, sekarang dia ngedeketin Pak Direktur tuh, amit-amit ya!"
"Astaga, Pak Direktur pun diembat!"
"Eh, siang-siang gini? Di ruangan Pak Direktur?"
Bisik-bisik murahan, tidak mendasar, tidak disertai bukti, kurasa otak kalian sudah diserap moral rendahan kalian sendiri!

Aku sungguh muak.

"Nala," panggil Pak Direktur setelah aku duduk di kursi di depan beliau.
"Sudah berapa lama kamu bekerja disini?" lanjutnya.
"Sudah 4 tahun, Pak," jawabku.
"Kamu tahu 'kan peraturan di kantor ini?"
"Tahu Pak."
"Sebutkan!"
"Sebutkan, Pak?" aku mengulangi pertanyaannya.
"Masih ingat dengan ketentuan 'berkelakuan baik'?" tanyanya penuh tendensi.
"Iya, Pak..." aku mulai berfirasat tidak baik. Sesuatu akan terjadi setelah ini.
"Kamu ini cucu dari ex-Tapol. Orangtuamu cerai, dan sekarang kamu... ehmm kamu menjadi kekasih pria beristri..." Pak Direktur mengambangkan kalimatnya.
"Maksud Bapak?" bagaikan pohon kering di musim kemarau, api sekecil apapun akan mampu membakarku.
"Kamu tidak memiliki syarat untuk menjadi karyawan disini lagi, Nala. Harus saya urai satu per satu mengapa kamu seharusnya mengundurkan diri atau..."
"EXCUSE ME?!" aku memotong kalimatnya sambil berteriak.
"...atau saya pecat," lanjut pak Direktur pelan.
Aku tidak percaya. Aku tidak pernah membayangkan aku akan dipecat dengan cara sehina ini. I'm lost at words. Damn damn damn Arkana! Kamu dan istri sialanmu itu tidak pernah cukup membuatku sengsara! Lihat Arkana, perempuan yang kamu kejar-kejar ini sekarang tidak bisa bernafas saking marahnya, saking kecewanya, saking sakitnya!
"Saya..."
"Iya, kamu memiliki dua pilihan. Saya tidak mau mengambil resiko didatangi keributan lagi. Saya sudah berbaik hati menerima kamu empat tahun lalu, meskipun kamu masih belum termasuk dalam lingkaran Bersih Lingkungan. Tapi kamu..."
"Tapi saya tidak perlu segala Bersih Lingkungan brengsek itu! Saya tidak perlu menjelaskan kepada siapa-siapa diri saya sendiri, orang-orang hanya akan melihat apa yang mereka ingin lihat! Bapak lihat, coba Bapak bercermin, apa Bapak melihat orang itu dalam diri Bapak?! Coba Bapak lihat saya, Bapak melihat saya sebagai seorang cucu ex-Tapol, anak dari orangtua yang bercerai, dan sebagai kekasih gelap yang menyebabkan perceraian 'kan? Ya, karena itu yang Bapak ingin lihat!" aku berteriak mengeluarkan semua yang mampu aku ledakkan. Marah yang aku simpan bertahun-tahun telah mengerak dan hanya menjadikanku perempuan yang tidak berbudaya. Setidaknya itu yang mereka lihat.
"Baik Pak, first of all, Bapak sama sekali tidak punya hak untuk mengkorek-korek kehidupan pribadi saya, mau siapapun kekasih saya, itu sama sekali bukan urusan Bapak. Yang kedua, meskipun orang lain memandang saya seperti Bapak memandang saya, saya tidak akan membiarkan diri saya kehilangan harga diri lagi. Saya akan keluar dari kantor ini hari ini juga!" tegasku.
"Nala, maksud saya..."
"Terima kasih atas kerjasamanya selama ini. Maaf jika ada yang kurang berkenan dari ucapan dan tingkah laku saya."
Aku membanting pintu ruangan Pak Direktur sambil berlinangan air mata. Dulu, aku tidak tahu apa yang akan hidup tawarkan padaku. Sekarang aku tahu, hidup tidak pernah menawarkan apapun kepadaku.

*

Bapak mengelus-elus rambutku. Sore itu aku merasa aku benar-benar enggan melanjutkan kehidupanku lagi. kehilangan pekerjaan yang aku cintai hanya karena, entahlah, apakah aku mampu bilang kalau itu adalah penyebab paling tidak masuk akal yang pernah aku temui.
"Nala, hidup memang keras," begitu nasehat Bapak.
"Nala tidak tahu kalau hidup akan memaksa kita untuk tunduk pada takdir," jawabku.
"Begitulah hidup, Nala."
Begitulah hidup. Begitulah hidup, my ass. Aku sudah cukup bersabar dan bertabah dengan hidupku. Bertumbuh dalam hinaan dan cercaan sebagai cucu dari ex-Tapol membuatku cukup ciut nyali dengan mulut-mulut besar yang tidak pernah lelah berceloteh tentang betapa sucinya hidup mereka. Kemudian saat aku mulai menemukan kebahagiaanku bersama Fritz di London, Tuhan menariknya untuk kembali ke dalam pangkuanNya. Hancur sekali, bukan, skenario Tuhan yang satu ini? Belum cukup rasanya Tuhan memporak-porandakan jiwaku, kembali minggu ini aku mendapat kado yang tidak kalah grande dari Tuhan: istri Arkana yang ngamuk-ngamuk di depanku, di depan teman-teman sekantorku. Malu dan hina sekali rasanya tubuh ini.
"Tuhan telah mati," ujarku.
Nihilisme.

*

Pagi ini, selain menatap kardus-kardus berisi pernak-pernik dari kubikel kantorku, aku hanya bernafas dengan ritme yang biasa saja. Tidak ada yang membuatku harus terburu-buru berangkat kerja ataupun keluar rumah. Aku akan menghabiskan hariku dengan semau-mauku sendiri. Toh, siapa yang akan mengurusiku kalau duniaku sendiri telah runtuh dan usai? Tuhan? Atas dasar apa aku mampu percaya lagi pada Tuhan? Atas dasar apa aku mampu percaya lagi pada manusia dan segala moralitas-bullshit itu? 
"Nala?" panggil Bapak dari luar kamar.
"Ya?" jawabku.
"Kamu tidak keluar rumah hari ini?" tanyanya lagi.
"Ngapain keluar rumah, Pak?" jawabku.
"Nala..." Bapak dengan kursi rodanya memasuki kamarku.
"Bapak tahu, yang menimpa kamu sangat tidak adil."
"Apa yang Tuhan lakukan ke Nala itu jahat, Pak."
"Lantas apa kamu mau balas dendam ke Tuhan?"
"Kalo itu memungkinkan, kenapa tidak?"
"Nala..." Bapak menghela napas.
"Sudah, Pak. Sudah tidak ada artinya semuanya. Semua sudah hilang makna, semua sudah punah. Nala hanya pengen nerusin hidup Nala yang entah bakal berjalan ke arah mana. Apa artinya hidup kalo udah nggak ada lagi yang bisa Nala percayai?"
"Kamu selalu bisa percaya pada Bapak."
"Ibu juga seharusnya selalu bisa percaya pada Bapak."
"Nala..."
"Pak, sudah. Sudah, ya, Pak?"
Bapak menghela napas dan meninggalkan kamarku dengan derit suara kursi rodanya.
Aku membuang muka pada tumpukan buku di samping kananku. Wajah Friedrich Nietszche memandangku dari balik sampul merah bertuliskan Human, All Too Human.
Kamu benar, Nietzsche, God is dead.

*

Siang itu terik sekali. Setelah membikin es sirup, duduk bersantai di kasur sambil meneruskan membaca Norwegian Wood-nya Haruki Murasami, telepon rumah berdering. Aku tidak mengangkatnya, alih-alih, aku menghitung, ia sudah memperdengarkan deringnya berapa kali. Bapak sedang di kamar, kemudian berteriak memintaku untuk mengangkat telepon yang deringnya kini mulai mengusik pendengarannya.
"Bapak saja yang angkat, aku sedang mendengarkan dering telepon!" jawabku asal.
Terpaksa Bapak mengangkat telepon sambil melirikku dari celah daun pintu kamar yang tidak kukutup rapat utuh.
"Halo... ya benar... iya, benar. Oh... iya benar, astaga, Joyce! Apa kabar, apa kabar? Iya, Alhamdulillah, kabar kami semua baik. Iya, ah, tidak mungkin! Iya, bagaimana, Joyce?" terdengar suara Bapak dan nada gembiranya. Kemudian hening setelah kalimat tanyanya yang terakhir. Bapak terlihat manggut-manggut. Kemudian manggut-manggut lagi.
"Aku mengerti. Iya, terima kasih sekali, aku paham itu. Memang, siapa yang tidak rindu Indonesia. Ya, coba nanti aku bicarakan dengan anak-anak dulu. Hati-hati, Joyce, kabarin aku kalau sudah akan berangkat. Iya, see you, too, Joyce." Bapak menutup teleponnya. Terlihat berat, kurasa telepon barusan memberikan beban baru buat Bapak.
Aku mengeja satu nama itu: Joyce. Siapa tidak kenal Joyce? Joycephira Soedjono, adik bungsu Bapak yang selama ini menetap di London, menunggui rumah Kakek dan Nenek di Vale Rise, London.
Mengingat Joyce, aku teringat kembali dengan Fritz. Ah, hantu masa lalu itu kembali muncul, mengaburkan realita yang berkabut ini. Aku merutuki diriku sendiri.
Aku ingin bertanya pada Bapak mengenai telepon barusan, tapi kurasai diriku sedang enggan berurusan dengan hal-hal rumit itu. 
Bapak berjalan masuk ke kamar lagi.
Kuanggap masalah telepon Joyce masih belum selesai. Satu sisi diriku ingin tahu sekali apa yang Bapak bicarakan dengan Joyce, sedang sisi lainnya enggan tahu lagi masalah duniawi.
Jadi kusimpulkan: biarkan Bapak yang memutuskan akan mengutarakan apa mengenai telepon dari Joyce barusan. Aku melanjutkan bacaanku, Norwegian Wood:

The  women took turns brushing their teeth and withdrew to the bedroom. I poured myself some brandy and stretched out on the sofa bed, going over the day's events from morning to night. It felt like an awfully long day....