April 28, 2015

Mata yang Berkaca-Kaca

Saya pulang ke rumah dengan perasaan ringan. Dre bersedia menemui saya, entah kenapa. Tapi masih ada tanda tanya besar dalam benak saya. Mengapa Dre begitu ... Dre? Dia menolak orang lain, dan memberikan sambutan pada kesepian. Apa yang mengubah Dre menjadi Dre yang seperti itu?
Ah sudahlah! Bukankah semua manusia memliki masalahnya sendiri. Bukan hanya Dre, tapi saya...
"Arkana!" wanita itu membuka pintu dengan kasar dan memanggil saya dengan nada suara yang meninggi.
"Baru pulang?" tanya saya. Pintu depan tertutup kembali. Wanita itu melepas sepatu hak tingginya dan membuang tas kerjanya di meja tengah. Dia berjalan ke arah saya yang masih memegang buku catatan sambil duduk di sofa ruang tengah.
"Masih setia dengan catatan kecil dan kejadian-kejadian kriminal?" tanyanya sinis. Aku menghela napas. Anjali tidak pernah menyukai pekerjaan saya karena tidak bisa menghasilkan pundi-pundi uang yang mencukupi. Sebaliknya, sebagai banker, Anjali mampu menghasilkan berlipat-lipat kali lebih besar daripada yang saya hasilkan. Inilah buktinya. Rumah yang sedang saya tempati, dan mobil Civic terbaru yang mampu dia dapatkan dari kantornya. Konsekuensinya, tentu ada.
"Arkana, aku mau bicara dengan kamu," lanjutnya.
Inilah keluarga saya. Sebagai suami, saya selalu merasa kurang di mata dia. Tapi sebagai wartawan, saya tidak perah kehilangan lirikan iri dari orang-orang jurnalis lainnya karena kehebatan saya mengorek dan menulis berita.
"Ada apa, Anjali?" tanyaku.
Anjali sejenak menatap saya, intens. Saya tidak bisa lupa dengan tatapan matanya. Tatapan mata Anjali ketika masih jatuh cinta dengan saya. Tatapan mata itu lambat laun berubah. Tapi malam ini, detik ini tatapan mata itu datang lagi.
"Arkana, seperti yang kita ketahui, kehidupan ini selalu menawarkan pilihan yang tidak terbatas. Termasuk untuk aku dan kamu," Anjali mulai bangkit. Kebiasaan seorang bos, bicara sambil berdiri dan melipat kedua tangannya di dada. Here she is.
"Ada banyak pilihan, dan hanya ada satu takdir," lanjut saya.
"Tepat sekali. Kita tidak boleh salah memilih," lanjutnya.
"Ada apa, Anjali? Apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan dengan saya?" tanyaku tidak sabar.
"Aku pernah mendapat kesempatan besar, dulu. Dan aku melewatkan kesempatan itu, karena kamu. Aku memilih kamu, bertahun-tahun yang lalu. Pernahkah kamu memikirkan pilihanmu tentangku?" tanyanya. Saya bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini akan berakhir. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Anjali akan meminta saya untuk bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi, sehingga egonya tidak melulu sakit. Tapi bukan itu yang saya rasakan. Saya tidak merasa Anjali kesusahan dengan nominal uang yang saya berikan. Saya belihatnya berubah, itu saja.
"Tentu saya memilih kamu, Anjali," jawabku.
"Omong kosong! Kamu bilang kamu memilihku tapi tidak secuil kebahagiaanpun yang kamu berikan ke aku! Coba lihat semua ini! Lihat, Arkana!" Anjali berteriak di depanku.
"Pernah kamu pikirkan sedikitpun tentangku? Aku yang yang bekerja dari pagi hingga larut malam seperti ini! Aku yang mengusahakan sendiri KEBAHAGIAANKU! Dan kamu? Apa yang kamu lakukan dengan catatan kecil itu? Sampah!" Anjali berteriak marah.
"Kamu sedang lelah, Anjali. Sebaiknya kamu istirahat dulu."
"Oh ya? Oh tentu saja aku sedang lelah, dasar pengecut! Aku lelah bertahun-tahun sama kamu!"
"Anjali, kamu tidak perlu berteriak."
"Tentu saja aku tidak perlu berteriak seperti ini. Aku akan duduk dengan tenang, menyimpan tenagaku, dan aku harap kamu segera mendapatkan surat cerai dariku."
"Anjali?"
"Ya, tentu saja Arkana. Aku ingin perceraian."

*

Aku tidak tahu mengapa lelaki itu mengotot ingin menemuiku. Tentu saja aku tidak mengenalnya. Ada banyak hal yang aku ketahui di dunia ini, tetapi bukan dia.
Aku segera bersiap-siap diri. Selesai membereskan sarapan pagi, aku menyambar tas kerjaku dan melangkah ke arah pintu keluar.
"Nala."
Aku menoleh. Bapak memanggilku.
"Terima kasih sudah mau merawat Bapak dan Bima," lanjut Bapak.
Aku menghampiri Bapak dan mencium tangannya.
"Tidak masalah Pak. Nala berangkat dulu."
"Nala," panggil Bapak lagi. Aku menghampiri Bapak dan merendahkan tubuhku di samping kursi rodanya.
"Iya, Pak?" tanyaku.
"Katakan apa yang kamu rasakan, Nala. Bapak tahu, ada dunia lain di dalam kepalamu yang tidak ingin kamu bagi dengan siapapun," lanjut Bapak. Dunia lain ... dunia lain apa?
"Nala, Bapak mengerti kecemasanmu. Percayalah, tidak semua orang bisa menyakiti. Bapak ingin melihatmu bahagia, Bapak ingin melihatmu seperti Nala yang sering bermain dengan Kakek..." mata Bapak berkaca-kaca. Tidak. Aku tidak ingin membuat Bapak khawatir dan cemas padaku.
"Nala akan bahagia, Nala janji, Pak."
Aku melangkah keluar rumah. Setelah menutup pintu gerbang halaman rumah, tetesan airmataku kembali jatuh. Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti apa yang hidup tawarkan padaku.

*

Sendok itu terus saja mengaduk-aduk kopi hitam yang saya pesan. Saya tidak mengerti dengan pilihan-pilihan yang Anjali bicarakan semalam. Dia menginginkan perceraian? Kenapa? Apa yang salah dengan kehidupan kami? Kami baik-baik saja, bukan?
"Boy, ngelamun lagi? Kayak nggak ada kesibukan lagi aja lo," Bayu, teman sekantorku memergokiku sedang melamun di kantin kantor.
"Di lantai atas ada Coffee Shop yang oke punya, kenapa lo malah senang ngendon di basement sumpek ini sih?" tanyanya.
Aku menyalakan rokokku dan menghisapnya kuat-kuat.
"Lo tahu, Bay, gue nggak butuh kopi abal-abal mahal yang hanya bakal dibeli sama orang yang keberatan gengsi. Inilah kopi hitam yang sesungguhnya."
"Ini nih, kaum proletar ngehek! Hahaha! Liputan?" tanya Bayu.
"Kalo kaum proletar yang lo maksud itu orang-orang kere macam gue, berarti semua wanita masuk dalam kaum materialis, gitu Bay?" tanyaku.
"Lo lagi kenapa sama bini lo?" tanya Bayu.
"Nggak kenapa-napa Bay. Gue terlalu cinta sama pekerjaan gue aja."
Dalam riak kopi yang tenang itu, saya temukan sepasang mata yang berkaca-kaca.