Maret 28, 2010

She's Really Seventysomething

Semua ini bermula dari tugas yang diberikan dosen Pengembangan Masyarakat itu untukku. Tadinya aku juga ngga peduli. Aku ngga pernah mempermasalahkan, apalagi sampai memikirkan. Bahkan larangan ayah untuk naik motor Magelang-Jogja pun aku lihat dengan kesinisan tingkat tinggi. Ngga ada untungnya kuliah di Jogja tanpa motor, tanpa kendaraan! Gimana bisa having fun di kedai kopi pinggir Seturan? Gimana bisa mobilitas ke Amplaz kalo pikiran lagi nge-curly abis?! Gimana bisa ke Malioboro buat hunting pernak-pernik lucu bin murah tanpa panas-panasan naik bis kota? Hhh, pokoknya aku mengutuk keras tugas wawancara ini beserta pelarangan naik motor dan antek-anteknya itu. Tadinya.

“ Cebol, kita mau wawancara siapa?” tanya Marina ke aku. Aku mendengus kesal. Aku tau aku kurang tinggi. Tapi bukan berarti cebol kan!

“ Wawancara elo aja!” teriakku sewot.

“ Udah cebol ya cebol aja. Ngga perlu pake minta wawancara ke gue dong! Yang ada standar wawancara gue ya sekelas Vogue gitu!” balas Marina kecentilan. Cewek bermotor Beat ini emang sombong gila. Secara badannya straight (baca: tinggi), dan aku, well, hanya kurang tinggi aja. Reta tersenyum kalem aja, senyum yang pelan. Dan Boncil (harusnya dia yang dipanggil cebol! Dia kan cowok, tapi ngga setinggi Lee Min Ho!), masih stay dengan kamera-seharga-motor miliknya. Memutar-mutar entah apa itu sambil membidikkan lensanya ke arah jalan perempatan Kentungan.

“ Badut! Belagu lo, ketinggian! Kalo mimpi jangan sampe ke Vogue! Bisa nampang di Cosmogirl ukuran tiga kali empat aja udah sukur!” balasku.

“ Kalian ini ngehrumpiin apa tsih? Ngga jelast banget!” tentu Boncil bukan cebol, tapi cadel! Reta menambah frekuensi senyam-senyum-ngga-jelasnya.

“ Elo yang ngga jelas Cil, daritadi pose mulu sama kamera lo. Kita lagi bingung nih mau wawancara siapa buat kaum rentan itu! Bantuin mikir kek! Gue ogah kalo pake ribet! Lo kan orangnya terkenal riweuh dan anti kemudahan gitu!” cerocosku. Boncil tertawa aja. Marina apalagi. Giginya sampai jadi gondrong. Dan senyuman Reta langsung berubah jadi tawa yang bersambung (baca: ngga berhenti sampai sepuluh menit)

“ Tukang sampah aja gimana?” sahutku.

“ Ato pedagang asongan?”

“ Ato penjaga kuburan?” Boncil. Dia dengan sukses mendapat jitakan dari aku dan Marina. Dan dengan sukses mendapat secercah senyum pelipur lara dari Reta.

“ Ato…tukang gali kubur?” lanjut Boncil. Aku sudah siap tangan lagi buat ngejitak Boncil sebelum aku dengar Marina berteriak, “ penjaga gawang aja gimana?”

Setelah perdebatan sengit bin aneh itu, akhirnya kami sepakat mewawancarai loper Koran di perempatan Kentungan itu saja. Tapi kemudian berubah lagi, yaitu mewawancarai nenek-nenek penjual jajan pasar yang kata Boncil keliatan kasian. Emang kapan Boncil pernah ketemu sama itu nenek? Pertanyaan retorisku langsung terjawab dengan sendirinya: gue sama bini sering kesana buat beli sayurh bayem biarl bisa mingkem. Boncil.

Gludak gluduk kita berempat bertiltle kelompok Pengembangan Masyarakat dan bermodalkan kamera-yang-katanya-seharga-motor, tripod hasil minjem ke Tripang, dan catetan kecil hasil beli dengan kocek sendiri di Togamas beberapa minggu lalu. Aku maju duluan, mulai bertanya kepada nenek-nenek yang lagi makan itu. Deg…jantungku seakan mau pensiun, itu nenek-nenek emang keliatan emmm, well, desperate. Desperate tapi tersenyum. Tersenyum tapi desperate. Gimana ya ngedeskripsiinya?

Dan segalanya berubah…

Hasil wawancara cukup membuat aku terkejut. Aku sampai ngga berani membantah bahwa apa yang udah dosen dan ayahku lakukan padaku itu benar. Bahwa aku sungguh sangat, sangat, sangat beruntung sekali. Kemudian aku berjalan pulang. Dengan gontai aku melirik para tuna wisma di samping kananku saat motor Marina berhenti di lampu merah. Mereka tidak sekolah. Mereka tidak kuliah. Mereka tidak bermain seperti wajarnya anak seusia mereka. Dan mereka masih bisa bahagia. Aku miris. Kemudian motor Marina jalan lagi. Aku melihat di sepanjang jalan: bapak=bapak tukang tambal ban, ibu-ibu jualan lotek, pedagang kaki lima yang sepi, tukang becak, padagang rokok, banyak. Kemudian aku tersadar, dan aku terpejam. Bahwa masih banyak yang belum aku ketahui. Aku harus tau seperti apa mereka.

“ Ya kira-kira lima sampai sepuluh ribu lah per hari,” ucapan nenek penjual jajan pasar itu mengusik pikiranku terus. Dengan uang segitu bisa apa mereka? Dan dengan usia mereka (73 tahun), seharusnya mereka berhak atas perinstirahatan enak bernama kasih sayang anak cucu. Tapi ternyata banyak nenek-nenek di luar sana yang masih bekerja, bahkan sebagai kuli angkut di usia senja yang rawan itu! Aku mengusap wajahku.

“ Lo ngga papa kan Seis?” tanya Marina di sebelahku. Di saat kuliah Metode dan Teknik Perencanaan berlangsung aku malah melamunkan nenek-nenek itu. Hmmm…aku perlu mencuci muka.

“ Gue baik-baik aja Mar,” jawabku.

“ Panggil gue Marin, bukan Mar. lo pikir gue marimar atau maria mercedez?” sewot Marina. Aku mendadak kesal. Bahkan temanku yang satu ini tersinggung hanya karena pengucapan nama. Kasian dia, sangat tidak berhati lapang! Bahkan nenek itu tidak tersinggung sama Tuhan gara-gara dia miskin dan hidup kekurangan! Poor you, Mar, Marin, or whoever you are!

Aku meneruskan perjalanku hari ini. Aku pulang Magelang. Kata Ita, dia mau nebengin aku sampai Jombor. Tapi aku menolak. Maaf, ini perjalananku, perjalanan batinku pula. Aku menyetop angkot jurusan Jombor-Prambanan dari Jakal dekat MM UGM. Perasaan aneh itu muncul lagi. Kenapa aku baru sadar bahwa penumpang angkot ini terlihat dekil, dan anak kecil itu punya banyak ingus? Dan bapak-bapak itu? Ya Tuhan, betapa beruntungnya diriku! Kemudian aku mencoba menghayati semua ini, apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku? Kakek-kakek itu bercerita dengan percaya diri bahwa pasar burung hari ini ramai. Sekarang hari Pahing, sedang “pasarnya” pasar. Aku mendengar dengan seksama. Bahkan hal sederhana pun bisa menjadi sesuatu yang wah bagi mereka, bagi kakek-kakek itu! Sedangkan aku? Dapat uang saku tambahan aja masih berangkat Jogja dengan muka bersungut-sungut! Betapa sederhananya mereka, betapa bersahajanya mereka. Betapa tulus pikiran mereka.

“ Jombor, Jombor!” teriakan kernet di angkot itu mengagetkanku pada akhrinya.

Bis selalu penuh. Apalagi saat sore seperti ini. Banyak yang pulang ke Magelang atau Semarang. Banyak pula yang mudik, seperti aku ini. Beruntung aku mendapatkan tempat duduk di barisan tiga dari depan, di deretan supir. Tempat yang strategis.

“ Magelang, Muntilan, Salam, Semarang, Semarang!” teriak kernet bisa Jogja-Semarang itu. Bau rokok, bau solar, bau keringat semua menjadi satu. Ini yang paling aku ngga sukai dari bus. Ramai, penuh, bau! Baru beberapa meter berjalan, bus berhenti. Kemudian seorang kakek tua dengan tongkatnya berjalan pelan masuk. Kerut di wajahnya terlihat nyata, seperti akan menyampaikan bahwa dia telah mengarungi beberapa fase kehidupan. Pasti dia bekas pejuang. Dengan tenang dia menatapku kemudian tersenyum lemah dan berdiri di dekat kursiku. Demi Tuhan, ngga ada seorang pun yang rela memberikan kursinya pada kakek itu! Mataku menjelajah dari si bapak-bapak TNI itu, anak muda berpakaian gaul dan headset di kupingnya itu, anak muda lagi, kali ini ngga gaul-gaul amat, kemudian dua bapak-bapak PNS. Dan terakhir: diriku sendiri. Oh my goat, yess, semua berawal dari diri sendiri! Dengan sukarela aku berikan kursiku untuk si kakek, kemudian dia tersenyum penuh rasa terima kasih. Hatiku ikut tersenyum bersama dengan tatapan mata aneh dari penumpang lain di sekitarku. Aku berdiri tak lebih dari lima menit, bapak-bapak TNI itu memintaku duduk di kursinya. Syukurlah…

Pedagang asongan, pemangen, pengemis, semua menjadi satu dalam bis. Semua bertambah bising dengan suara tangis anak tiga tahunan yang sedang dalam gendongam bapaknya. What? Gendongan bapaknya? Kemana ibunya? Anak itu menangis dan menangis terus. Pasti bapaknya bingung bagaimana harus menenangkan bocah cilik itu. Aku menunduk. Menunduk terlalu dalam. Kemana saja aku ini? Dimana hatiku?! Jelas sekali setiap hari elo ketemu orang-orang yang rentan seperti mereka! Mereka vulnerable, almost being poverty! Telingaku penuh dengan suara tangis melengking yang menyedihkan itu, dan raut lelah dan pancaran memelas dari bapak si anak. Dan suara pedagang asongan, dan pengamen, dan pengemis! Dan penumpang lain yang berbicara dengan dialek kedesa-desaan. Ya Tuhan, mereka semua sungguh hebat! Mereka mempunyai rasa syukur yang tinggi kepadaMu, jauh lebih tinggi di atas aku! Rasa mirisku kini mulai tertuang dalam bentuk visualisasi airmata. Aku terus menangis, menangis dan menangisi negaraku. Negara ini bahkan sudah rentan!

Satu jam sudah aku mengeluarkan duka dalam hatiku. Aku telah menjadi gadis baru. Dengan mata dan hati yang selalu terbuka terhadap apa saja, rasanya aku sudah sangat sangat sangat perlu untuk bersyukur. Tidak ada lagi kini marah-marah karena ngga bisa ke Amplaz atau Malioboro. Karena bahkan mereka pun tidak tau apa itu Amplaz!

Inda.Meravigliossy

4.06 p.m

26 Desesmber 2009