Mendapat jatah belanja setiap hari Kamis pagi membuat hari-hariku terasa
lebih manis. Bertemu dan bertegur sapa dengan pedagang di Pasar Beringharjo
selalu menjadi hal asing di luar rutinitasku di toko dan di kafe. Seperti
sekarang, ketika harus membeli gandum, buah jeruk, apel, dan sawo.
Aku selalu membeli buah di toko yang sama, karena selalu mendapat potongan
harga yang lumayan.
Aku berjalan di sepanjang ruas Jalan Malioboro pukul sembilan pagi.
Beberapa pedagang sedang membuka lapaknya, beberapa lagi sudah duduk tetenguk menunggu pengunjung yang
membawakannya sepercik uang.
“Cik Runik, hari ini pohon srikaya saya panen, ini monggo dilarisin...” Bu Baidah, pedagang lapak salak pondoh di
dekat pintu masuk Pasar Beringharjo menyapaku dengan menyodorkan sebuah srikaya
ranum dan harum.
“Berapa sekilonya, Bu?” tanyaku.
“Delapan ribu aja Ci, ndak nawakke
aku. Sudah harga pas,” jawabnya sungguh-sungguh. Aku juga seorang pedagang
seperti mereka, aku tahu bagaimana rasanya ditolak saat sedang menawarkan. Aku
berjalan mendekatinya dan mengeluarkan dompetku.
“Saya beli dua kilo saja Bu, ini baru saja beli jeruk sama sawo soalnya,”
jawabku. Bu Baidah segera menimbang dan memasukkan dua kilo srikaya dalam
kantong plastik hitam.
“Eh, Runi?” suara feminis namun tega sbaru saja mampir di telingaku. Dialah
Nana, yang entah darimana dan sejak kapan ada disitu sambil mengalungkan sebuah
kamera besar dan penampilan yang tidak jauh beda dari biasanya: celana jeans
belel, kaos, dan kemeja kotak-kota. Rambutnya juga selalu dikuncir ala
kadarnya. Gadis ini sederhana, tapi seperti menyimpan penyesalan bagi siapa
saja yang berusaha melukainya.
“Selamat pagi Mbak Nana,” jawabku.
“Beli srikaya ya? Wah, aku juga mau dong! Buk, bungkusin saya sekilo ya!”
“Jadi kamu selalu belanja setiap hari Kamis? Ooh... pantesan buah-buah di
meja kafe selalu segar tiap hari Kamis. Kamu toh dalangnya!” Nana
membercandaiku.
“Sudah jadwalnya begitu, Mbak,” jawabku.
“Jangan panggil saya Mbak, panggil aja aku Nana. Kesannya aku udah tua
banget. Umur kamu berapa sih?” tanya Nana.
“Dua puluh lima, Mbak. Eh, Nana.”
“Sama! Umurku juga dua puluh lima. Eh, kamu mau lihat hasil hunting fotoku pagi ini nggak? Sengaja
banget nih aku bangun jam empat pagi biar bisa liat sunrise di Nol Kilometer,
nih,” Nana menyodorkanku Canon 550D-nya padaku. Secara bergantian layar kamera
Nana menunjukkan gambar-gambar yang mengandung semburat oranye matahari subuh.
Siluet pohon-pohon yang mengembun, siluet bangku-bangku semen yang tidak pernah
terlihat sekosong ini tiap malam, siluet orang-orang bersepeda, dan ibu-ibu
yang menggendong tenggok mereka
beriringan menuju pasar. Kehidupan. Nana suka mengabadikan kehidupan rupanya.
Dengan kamera, dia membuat kenangan tentang apa yang tidak akan pernah terjadi
lagi suatu hari kelak. Apa kelak, ada yang akan membuat kenangan tentangku
ketika aku sudah tiada? Ada makna pada setiap gambar-gambar Nana, ada nyawa
dalam kehidupan yang mencoba dia sampaikan.
“Nana, fotomu bagus. Kamu berhasil mengelabuhi kehidupan,” pujiku.
“Mengelabuhi bagaimana?”
“Memaksa waktu berhenti dalam beberapa detik kamu memencet tombol kameramu.
Semuanya berhenti disini,” jelasku sambil menujuk-nunjuk layar kameranya. Nana
tersenyum.
“Seberapa bisanya kita mempermainkan waktu? Mempermainkan kehidupan? Aku
hanya menangkap yang mungkin orang lain terlupa.”
Diplomatis. Kamu menjawab semua pujian dengan jawaban yang manis dan
sederhana. Kamu memang sederhana, Nana.
“Sudah siang, saya sebaiknya pulang. Alena pasti sudah cemas menunggu
saya,” aku berdiri dari bangku semen yang tadi subuh sempat Nana foto.
“Ehmm, Kamis minggu depan mau nemenin aku hunting foto?” Nana ikut berdiri di depan keranjang belanjaanku.
“Jam berapa kamu hunting foto?”
“Nanti aku sms, boleh minta nomor handphone
kamu?”
“Saya tidak punya handphone. Kalo
mau, kamu telepon kafe saja, saya yang selalu mengangkat teleponnya.” Nana
tampak kaget, tapi tak berlangsung lama.
“Oke nanti aku telepon. See you, Runi!” Nana berlari menuju perempatan
kantor pos, dan aku menikmati punggungnya yang kurus. Aku berbalik dan berjalan
menuju rumah.
*
Hari Jumat tanggal dua puluh lima. Mungkin Mas Pram lupa akan bulan depan
yang dia bilang pada akhir bulan kemarin. Lupa adalah bagian penting dalam
penyesalan. Aku harap Mas Pram tidak lupa. Mungkin Mas Pram sedang mengatur
masa agar tidak ada yang sia-sia antara aku dan pekerjaannya.
“Cici!” Alena menyongsongku. Sepagi ini dia sudah keluar rumah, tumben
sekali.
“Kamu dari mana?” tanyaku.
“Tadi ada Pak Pos lewat, ada kiriman kartu pos buat Cici!” ujarnya ceria
sekali menyerahkan selembar kartu pos bergambar pegunungan Alpen yang
berselimut salju di bagian puncaknya. Indah sekali.
“Dari Mas Pram,” aku bergumam sendiri.
“Alena mau doa dulu, Cici mau ikut?” tanya Alena.
“Tumben kamu rajin doa, mau di kelenteng mana?” tanyaku.
“Kranggan. Sekalian aku mau makan salad buah disana.”
“Cici titip doakan buat Papa dan Mamak ya, hari ini Cici mau beberes toko
dulu.”
Alena menghilang dari hadapanku, digantikan hening dan angin yang
bersahutan dalam kehampaan. Hari ini toko sepi sekali, dan hanya ada satu-dua
orang saja yang mau ke kafe bertandang. Seringnya hanya orang yang suka dengan
teh herbal, seperti teh ginseng dan teh sereh. Mereka datang karena memang
suka. Kafeku bukan tempat bercengkarama para pemudi dan pemuda.
“Cici Runi!” Nana tiba-tiba datang tanpa memberi aba-aba.
“Halo Nana, tumben jam segini sudah keluyuran?” tanya saya sambil membenahi
taplak meja kasir yang tidak rata.
“Dapet liputan di Nol Kilometer, sekalian saja mampir. Teh sereh satu ya
Ci, yang panas!” pesan Nana sambil duduk di kursi keras kafe.
Nana sedang menikmati teh serehnya sambil menyalakan laptop dan mengetik
entah apa disana. Aku sedang menikmati kartu pos dari Mas Pram. Tertulis
disitu, kartu pos itu dia beli di Piccadilly Circus ketika sedang makan siang.
Absence love makes us grow stronger. Love you, my Cici
Runia.
Lucu sekali apa yang dimaksud Mas Pram. Ketiadaan cinta dengan ketiadaan
raga kan berbeda. Seperti kita mencintai orang yang telah mati, raganya tiada,
tapi cintanya masih tersisa.
“Cici, itu kartu pos dari siapa?” tanya Nana tiba-tiba. Dia menghampiriku
yang sedang duduk di kursi di balik meja kasir.
“Dari pacar saya,” aku tersenyum.
“Cici sudah punya pacar?”
“Iya, tapi sedang kerja di London.”
“Waah Cici LDR ya?”
Mukaku bersemu merah. Lucu sekali ungkapan-ungkapan remaja masa kini.
“Sudah berapa lama nggak ketemu Ci?”
Aku menghela nafas. Kapan terakhir kali kami bertemu? Aku ingat kenangan
tentang itu, tapi lupa kapan waktu menyebut tanggal dan bulan. Aku ingat
tentang semangkuk ronde dan obrolan hangat di Malioboro. Kami menikmati musik
jalanan yang sederhana, menikmati ronde hangat dan sinar bulan yang mengintip
malu-malu pada kerlip lampu malam.
“Cici, nanti saya ingin
dibuatkan ronde sama kamu tiap hari,” kata Mas Pram.
“Kenapa Mas? Kita bisa
beli disini tiap hari.”
“Kita akan tinggal di
London. Kita bisa menikmati Jogja dari ronde-ronde yang kamu buat.”
Aku terhenyak. Kalau aku
harus tinggal di London, siapa yang akan mengurus toko dan kafe? Siapa yang
mengunjungi makam Papa dan Mamak di Muntilan? Siapa yang membeli dagangan buah
Bu Saidah?
“Cici, kok ngelamun?” pertanyaan Nana mengagetkanku.
“Pacar saya mau ngajak saya tinggal di London ketika sudah menikah kelak,”
jawabku.
“Keren! Dari dulu aku pengen ke London, memotret bintang dari London Eye,
tapi sampai detik ini, masih saja memotret bintang dari genteng rumah,” timpal
Nana. Aku seharusnya sebahagia Nana ketika tahu akan diajak ke London. Tapi
London tidak sama dengan Jogja. Ronde-ronde buatanku tidak bisa mengganti
jalan-jalan sesak di Malioboro, tidak bisa mengganti teh sereh dan senyum puas
pelanggan, tidak bisa mengganti riuhnya Pasar Beringharjo, tidak bisa mengganti
apa yang Mas Pram bilang kenangan tentang Jogja.
“Bintang di langit London sama dengan bintang di langit Jogja, Nana.”
“Mereka tidak akan sama Cici. Cici tau kan betapa gemerlapnya London
disandingkan dengan mendung saat musim hujan? Bintang disana jauh lebih pemalu,
dia hanya akan hadir bila ada yang berdoa untuk bertemu dengannya,” jelas Nana.
Aku tersenyum. Nana memiliki seribu alasan klasik untuk menguatkan argumennya.
“Berarti, bintang akan muncul ketika apa?”
“Ketika kita memintanya muncul dari langit yang mendung, bersaing dengan
kerlip lampu di kota-kota. Dan bintang akan memancarkan sinarnya lebih kuat
agar terlihat ada diantara lampu-lampu itu. Cici mengerti?”
“Dongeng bintangmu terlalu realistis, tapi saya suka. Nah Nana, gimana
dengan rasa teh serehnya?”
“Hangat, Ci. Kenapa Cici tidak punya handphone?”
“Karena saya sudah punya telepon rumah,” saya tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar