Januari 09, 2013

Januari (2)



Mendapat jatah belanja setiap hari Kamis pagi membuat hari-hariku terasa lebih manis. Bertemu dan bertegur sapa dengan pedagang di Pasar Beringharjo selalu menjadi hal asing di luar rutinitasku di toko dan di kafe. Seperti sekarang, ketika harus membeli gandum, buah jeruk, apel, dan sawo.
Aku selalu membeli buah di toko yang sama, karena selalu mendapat potongan harga yang lumayan.
Aku berjalan di sepanjang ruas Jalan Malioboro pukul sembilan pagi. Beberapa pedagang sedang membuka lapaknya, beberapa lagi sudah duduk tetenguk menunggu pengunjung yang membawakannya sepercik uang.
“Cik Runik, hari ini pohon srikaya saya panen, ini monggo dilarisin...” Bu Baidah, pedagang lapak salak pondoh di dekat pintu masuk Pasar Beringharjo menyapaku dengan menyodorkan sebuah srikaya ranum dan harum.
“Berapa sekilonya, Bu?” tanyaku.
“Delapan ribu aja Ci, ndak nawakke aku. Sudah harga pas,” jawabnya sungguh-sungguh. Aku juga seorang pedagang seperti mereka, aku tahu bagaimana rasanya ditolak saat sedang menawarkan. Aku berjalan mendekatinya dan mengeluarkan dompetku.
“Saya beli dua kilo saja Bu, ini baru saja beli jeruk sama sawo soalnya,” jawabku. Bu Baidah segera menimbang dan memasukkan dua kilo srikaya dalam kantong plastik hitam.
“Eh, Runi?” suara feminis namun tega sbaru saja mampir di telingaku. Dialah Nana, yang entah darimana dan sejak kapan ada disitu sambil mengalungkan sebuah kamera besar dan penampilan yang tidak jauh beda dari biasanya: celana jeans belel, kaos, dan kemeja kotak-kota. Rambutnya juga selalu dikuncir ala kadarnya. Gadis ini sederhana, tapi seperti menyimpan penyesalan bagi siapa saja yang berusaha melukainya.
“Selamat pagi Mbak Nana,” jawabku.
“Beli srikaya ya? Wah, aku juga mau dong! Buk, bungkusin saya sekilo ya!”

“Jadi kamu selalu belanja setiap hari Kamis? Ooh... pantesan buah-buah di meja kafe selalu segar tiap hari Kamis. Kamu toh dalangnya!” Nana membercandaiku.
“Sudah jadwalnya begitu, Mbak,” jawabku.
“Jangan panggil saya Mbak, panggil aja aku Nana. Kesannya aku udah tua banget. Umur kamu berapa sih?” tanya Nana.
“Dua puluh lima, Mbak. Eh, Nana.”
“Sama! Umurku juga dua puluh lima. Eh, kamu mau lihat hasil hunting fotoku pagi ini nggak? Sengaja banget nih aku bangun jam empat pagi biar bisa liat sunrise di Nol Kilometer, nih,” Nana menyodorkanku Canon 550D-nya padaku. Secara bergantian layar kamera Nana menunjukkan gambar-gambar yang mengandung semburat oranye matahari subuh. Siluet pohon-pohon yang mengembun, siluet bangku-bangku semen yang tidak pernah terlihat sekosong ini tiap malam, siluet orang-orang bersepeda, dan ibu-ibu yang menggendong tenggok mereka beriringan menuju pasar. Kehidupan. Nana suka mengabadikan kehidupan rupanya. Dengan kamera, dia membuat kenangan tentang apa yang tidak akan pernah terjadi lagi suatu hari kelak. Apa kelak, ada yang akan membuat kenangan tentangku ketika aku sudah tiada? Ada makna pada setiap gambar-gambar Nana, ada nyawa dalam kehidupan yang mencoba dia sampaikan.
“Nana, fotomu bagus. Kamu berhasil mengelabuhi kehidupan,” pujiku.
“Mengelabuhi bagaimana?”
“Memaksa waktu berhenti dalam beberapa detik kamu memencet tombol kameramu. Semuanya berhenti disini,” jelasku sambil menujuk-nunjuk layar kameranya. Nana tersenyum.
“Seberapa bisanya kita mempermainkan waktu? Mempermainkan kehidupan? Aku hanya menangkap yang mungkin orang lain terlupa.”
Diplomatis. Kamu menjawab semua pujian dengan jawaban yang manis dan sederhana. Kamu memang sederhana, Nana.
“Sudah siang, saya sebaiknya pulang. Alena pasti sudah cemas menunggu saya,” aku berdiri dari bangku semen yang tadi subuh sempat Nana foto.
“Ehmm, Kamis minggu depan mau nemenin aku hunting foto?” Nana ikut berdiri di depan keranjang belanjaanku.
“Jam berapa kamu hunting foto?”
“Nanti aku sms, boleh minta nomor handphone kamu?”
“Saya tidak punya handphone. Kalo mau, kamu telepon kafe saja, saya yang selalu mengangkat teleponnya.” Nana tampak kaget, tapi tak berlangsung lama.
“Oke nanti aku telepon. See you, Runi!” Nana berlari menuju perempatan kantor pos, dan aku menikmati punggungnya yang kurus. Aku berbalik dan berjalan menuju rumah.


*


Hari Jumat tanggal dua puluh lima. Mungkin Mas Pram lupa akan bulan depan yang dia bilang pada akhir bulan kemarin. Lupa adalah bagian penting dalam penyesalan. Aku harap Mas Pram tidak lupa. Mungkin Mas Pram sedang mengatur masa agar tidak ada yang sia-sia antara aku dan pekerjaannya.
“Cici!” Alena menyongsongku. Sepagi ini dia sudah keluar rumah, tumben sekali.
“Kamu dari mana?” tanyaku.
“Tadi ada Pak Pos lewat, ada kiriman kartu pos buat Cici!” ujarnya ceria sekali menyerahkan selembar kartu pos bergambar pegunungan Alpen yang berselimut salju di bagian puncaknya. Indah sekali.
“Dari Mas Pram,” aku bergumam sendiri.
“Alena mau doa dulu, Cici mau ikut?” tanya Alena.
“Tumben kamu rajin doa, mau di kelenteng mana?” tanyaku.
“Kranggan. Sekalian aku mau makan salad buah disana.”
“Cici titip doakan buat Papa dan Mamak ya, hari ini Cici mau beberes toko dulu.”
Alena menghilang dari hadapanku, digantikan hening dan angin yang bersahutan dalam kehampaan. Hari ini toko sepi sekali, dan hanya ada satu-dua orang saja yang mau ke kafe bertandang. Seringnya hanya orang yang suka dengan teh herbal, seperti teh ginseng dan teh sereh. Mereka datang karena memang suka. Kafeku bukan tempat bercengkarama para pemudi dan pemuda.
“Cici Runi!” Nana tiba-tiba datang tanpa memberi aba-aba.
“Halo Nana, tumben jam segini sudah keluyuran?” tanya saya sambil membenahi taplak meja kasir yang tidak rata.
“Dapet liputan di Nol Kilometer, sekalian saja mampir. Teh sereh satu ya Ci, yang panas!” pesan Nana sambil duduk di kursi keras kafe.

Nana sedang menikmati teh serehnya sambil menyalakan laptop dan mengetik entah apa disana. Aku sedang menikmati kartu pos dari Mas Pram. Tertulis disitu, kartu pos itu dia beli di Piccadilly Circus ketika sedang makan siang.

Absence love makes us grow stronger. Love you, my Cici Runia.

Lucu sekali apa yang dimaksud Mas Pram. Ketiadaan cinta dengan ketiadaan raga kan berbeda. Seperti kita mencintai orang yang telah mati, raganya tiada, tapi cintanya masih tersisa.
“Cici, itu kartu pos dari siapa?” tanya Nana tiba-tiba. Dia menghampiriku yang sedang duduk di kursi di balik meja kasir.
“Dari pacar saya,” aku tersenyum.
“Cici sudah punya pacar?”
“Iya, tapi sedang kerja di London.”
“Waah Cici LDR ya?”
Mukaku bersemu merah. Lucu sekali ungkapan-ungkapan remaja masa kini.
“Sudah berapa lama nggak ketemu Ci?”
Aku menghela nafas. Kapan terakhir kali kami bertemu? Aku ingat kenangan tentang itu, tapi lupa kapan waktu menyebut tanggal dan bulan. Aku ingat tentang semangkuk ronde dan obrolan hangat di Malioboro. Kami menikmati musik jalanan yang sederhana, menikmati ronde hangat dan sinar bulan yang mengintip malu-malu pada kerlip lampu malam.
“Cici, nanti saya ingin dibuatkan ronde sama kamu tiap hari,” kata Mas Pram.
“Kenapa Mas? Kita bisa beli disini tiap hari.”
“Kita akan tinggal di London. Kita bisa menikmati Jogja dari ronde-ronde yang kamu buat.”
Aku terhenyak. Kalau aku harus tinggal di London, siapa yang akan mengurus toko dan kafe? Siapa yang mengunjungi makam Papa dan Mamak di Muntilan? Siapa yang membeli dagangan buah Bu Saidah?
“Cici, kok ngelamun?” pertanyaan Nana mengagetkanku.
“Pacar saya mau ngajak saya tinggal di London ketika sudah menikah kelak,” jawabku.
“Keren! Dari dulu aku pengen ke London, memotret bintang dari London Eye, tapi sampai detik ini, masih saja memotret bintang dari genteng rumah,” timpal Nana. Aku seharusnya sebahagia Nana ketika tahu akan diajak ke London. Tapi London tidak sama dengan Jogja. Ronde-ronde buatanku tidak bisa mengganti jalan-jalan sesak di Malioboro, tidak bisa mengganti teh sereh dan senyum puas pelanggan, tidak bisa mengganti riuhnya Pasar Beringharjo, tidak bisa mengganti apa yang Mas Pram bilang kenangan tentang Jogja.
“Bintang di langit London sama dengan bintang di langit Jogja, Nana.”
“Mereka tidak akan sama Cici. Cici tau kan betapa gemerlapnya London disandingkan dengan mendung saat musim hujan? Bintang disana jauh lebih pemalu, dia hanya akan hadir bila ada yang berdoa untuk bertemu dengannya,” jelas Nana. Aku tersenyum. Nana memiliki seribu alasan klasik untuk menguatkan argumennya.
“Berarti, bintang akan muncul ketika apa?”
“Ketika kita memintanya muncul dari langit yang mendung, bersaing dengan kerlip lampu di kota-kota. Dan bintang akan memancarkan sinarnya lebih kuat agar terlihat ada diantara lampu-lampu itu. Cici mengerti?”
“Dongeng bintangmu terlalu realistis, tapi saya suka. Nah Nana, gimana dengan rasa teh serehnya?”
“Hangat, Ci. Kenapa Cici tidak punya handphone?”
“Karena saya sudah punya telepon rumah,” saya tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar