Semusim rindu dalam setahun telah berlalu. Hangat-hangat cinta juga telah
tersapu panas membara jarak yang tak pernah padam oleh kekuatan untaian
kata-kata. Aku meredup. Bintangku berakhir pada awal tahun baru. Kemudian terbangunkan
kembali saat kau bilang akan datang kala rindu sudah mencapai puncak ingin
bertemu.
Telepon darimu mengganggu kesendirian yang kubangun untuk menutupi
berisiknya waktu. Saat itu detak jarum jam menunjukkan angka tujuh, delapan,
sembilan, sepuluh. Tak merubah gelap dan gemuruh, saat petir dan kilat
menyambar-nyambar seakan cemburu.
“Halo,” aku mengangkat panggilanmu.
Lantai dalam pijakanku berubah menjadi hamparan padang pasir yang hangat. Merambat
melalui sel-sel kakiku, menyambar tiap bulu halusku, meradang di hatiku. Aku cukup
tahu seberapa besar rinduku bertarung dengan waktu.
“Aku merindukanmu,” begitu katamu. Ingin aku jawab dengan rasa yang sama
padamu, tapi aku merasa kata-kata tidak cukup mengutarakan isi otak dan dadaku
saat itu. Awal januari sebentar lagi.
Aku memutuskan diam. Aku harap dia tahu, tidak ada rangkaian huruf yang
secara tepat bisa menggambarkan betapa aku mengharapkan pertemuan dengannya.
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja. Mas sendiri bagaimana?”
“Saya juga baik-baik saja.”
Hening. Kami berdua tahu, ada rambatan yang terlihat yang sedang bekerja. Dia
tahu aku juga merindukannya.
“Saya juga ingin bertemu denganmu,” katanya.
Sudah kubilang, dia tahu aku merindukannya, meski tanpa berkata-kata.
“Mas, saya ingin membersihkan toko dulu. Ini tanggal akhir, besok pasti
ramai karena hari libur.”
Yang sebenarnya ingin aku sampaikan adalah, mengapa pada hari libur pun
kami tidak bisa bertemu. Pangkalan tugasnya menahan semua yang kami rasa. Januari,
semoga kau tak berakhir sia-sia tanpa kejutan apa-apa.
“Ya, saya juga ingin menyelesaikan editing naskah-naskah ini. Kayaknya nggak
pernah berkurang tiap hari. Jaga diri baik-baik ya, saya pasti akan pulang
bulan depan,” katanya. Bulan depan sudah akan muncul beberapa jam lagi, Mas.
“Saya menunggu Mas pulang, bulan depan.”
*
Ini bulan depan. Tepatnya tanggal dua setelah hari Selasa. Aku duduk dalam
diam, melihat pengunjung lalu-lalang mencari apa yang mereka inginkan dari toko
tua peninggalan Papa dan Mamak yang sudah tiada. Hanya aku dan adik semata
wayang saja yang sekarang menjalankan bisnis kecil nan indah turun-temurun dari
kakek, hingga papa: toko sastra pada pojokan pecinan.
Bukan toko buku besar layaknya Gramedia, tapi mungil dengan kafe kecil
tanpa sinyal internet. Hanya ruangan dari kayu berukuran seratus meter dengan
kursi-kursi kayu dan aroma teh hangat setiap hari. Hanya tempat untuk janjian
orang-orang tua yang ingin mengenang masa-masa indah dunia tanpa kemegahan dan
kemudahan komunikasi.
Kami menyediakan juga kartu pos dengan gambar-gambar kota yang mereka
bilang membosankan. Tapi kubilang ini adalah secuil keindahan.
“Ci, Masmu itu kapan mau pulang? Pacaran kok beda benua. Suruhlah dia
tinggalkan London-nya itu. Kau yang di Jogja menginginkannya pulang, cepat kau
bilang sana!” adikku suka sekali menggodaku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Bekerja di kota sebesar London adalah kebanggan tersendiri buatnya. Aku tidak
suka mengusiknya. Impian dia untuk bekerja pada penerbit terbesar abad ini
adalah hidupnya. Mana sanggup aku menyuruhnya berlibur dari apa yang dia sukai.
Bukan berarti dia tak menyukaiku. Tapi aku dan pekerjaannya berada pada konteks
yang berbeda.
“Cici, selamat siang. Selamat tahun baru, semoga berkah Tuhan selalu
menyertaimu!” sepasang kakek-nenek berusia tujuh puluh tahun baru saja
melangkahkan kaki menuju kafe mungilku. Muda-mudi mahasiswa sastra memang
sering bertandang ke toko bukuku, tapi tak banyak dari mereka yang mau
meluangkan waktu menikmati secangkir teh hangat dengan duduk di kursi kayu
jatiku npada kafe beraroma manis ini. Sudah kubilang, kafe ini kafe milik
orang-orang yang merindukan kenangan.
Aku mengangguk pada sepasang kakek dan nenek itu, kemudian kudekati mereka
berdua.
“Selamat tahun baru juga, Nek. Punya acara apa malam tahun baru kemarin?”
tanyaku sambil menyodorkan katalog menu padanya.
“Kau ini, sudah jelas aku memesan teh gingseng dua cangkir dan kue bolu
rasa gula jawa tiga buah, masih saja kau sodorkan menu itu. Lupa sama pesanan
Nenek?” jawab Nenek. Aku tersenyum. Aku tidak lupa, hanya saja, siapa tahu
nenek mau pesan menu lainnya, bukan?
“Pertanyaan saya belum nenek jawab, bukan soal menu, tapi soal malam tahun
baru.”
“Sudah jelas nenek dan kakek dirumah saja, menonton konser di televisi,
berdoa, dan tidur. Kau sendiri? Anak muda pasti berkeliaran di Malioboro,”
simpul Nenek.
“Nenek salah, Cici saya malam tahun barunya cuma melototin gagang telepon! Ditelepon
lima menit sama pacarnya, terus tidur,” sambar adikku.
“Alena!” ingatku.
Tapi aku merindukannya. Sangat merindukannya.
“Jangan hanya menanti, cinta itu layak dicari. Apa kau pikir cinta hanya
kata benda yang bisa dipupuk dengan rindu semata? Cinta perlu pengorbanan. Kalau
kau dan pacarmu sama-sama tidak mau mengorbankan waktu, ya sudah. Biarkan saja
cinta layu.” Nenek.
*
Aku percaya pada cinta yang baik. Aku percaya pada kesiapan sebelum
menguntai rasa ke jenjang yang lebih tinggi. Aku percaya waktu adalah media
pendewasaan cinta, dan jarak adalah level kematangan cinta. Ketika orang yang
kau cintai berada pada jarak yang tak terhitung jauhnya, maka sejauh itulah kau
mencintainya. Bila masih mau menunggunya.
“Cici, aku mencari Mrs. Dalloway terjemahan, aku nggak nemu dimana-mana,”
salah satu pelangganku berucap padaku. Lamunanku terputus
“Tidak ada versi terjemahannya disini, Mbak. Kalau berkenan, kami punya
versi bahasa inggrisnya,” jawabku.
“Cici, kalau ada yang sudah terjemahan, kasih tahu aku ya Ci. Aku malas
baca novel sambil buka kamus, rasanya kayak belajar bahasa inggris saja,”
terusnya.
“Loh, Mbak kan memang mahasiswi sastra inggris,” jawabku sambil tersenyum
simpul. Mahasiswi itu juga tersenyum sambil memperlihatkan lesung pipinya.
“Aku memang mahasiswi bahasa inggris, tapi mahasiswa sastra inggris manapun
bakal lebih suka membaca sastra sambil liat muka kamu daripada liat kamus,
percaya deh,” godanya sambil tersenyum lebar.
“Mbak ini bisa saja, nanti saya kasih tahu kalo sudah ada versi
terjemahannya di toko kami,” jawabku.
“Makasih ya. Eh iya, nama Cici siapa? Namaku Nendyana, tapi biasa dipanggil
Nana,” gadis itu menyodorkan tangan kanannya padaku.
“Nama saya Runia, panggil sama Runi saja,” kusambut tangan halus Nana.
“Oh, aku pikir kamu Cina, ternyata nama kamu kayak orang Jawa.”
“Papa saya memang orang Tionghoa, tapi Mamak saya orang Jawa. Saya juga
punya nama Cina kok.”
“Oh ya, siapa?”
Dan obrolan kami berlanjut pada kursi-kursi kayu jati itu. Nana sangat
menyenangkan. Dia memesan Teh Sereh yang menenangkan, dan aku selalu membuatkan
Teh tawar hangat untuk diriku sendiri.
*
“Mas kira-kira sedang sibuk nggak?” tanyaku lemalui sambungan telepon.
“Ada yang bisa Mas bantu?”
“Pelanggan toko saya ada yang ingin Mrs. Dalloway versi bahasa Indonesia. Kalau
Mas sedang ada waktu, boleh saya minta tolong terjemahin versi bahasa
inggrisnya?” tanya saya.
“Saya tidak terlalu sibuk, tapi juga tidak punya banyak waktu. Nanti coba
saya curi-curi waktu ya. Nanti Cici saya kabari lagi.”
Sekarang sudah tanggal sepuluh, tidak ada pengurangan rindu.
“Mas, kapan Mas Pram pulang?” tanyaku. Hening.
“Maaf Mas, bukannya saya memaksa Mas pulang, tapi saya benar-benar pengen
bertemu. Mas ingat dengan kursi pojok, dua cangkir teh tawar hangat, dan
sepotong senja yang mas abadikan dalam lensa kamera Mas? Itu adalah bahagia
saya, Mas.”
Bukan berarti aku tak pernah bahagia juga.
“Saya akan pulang secepatnya. Cici mau nunggu saya kan? Pekerjaan disini
benar-benar menguras tenaga dan pikiran saya.”
Saya tahu Mas.
“Jaga diri Mas baik-baik ya, tidak ada yang jual Tolak Angin disana, Mas,”
candaku.
“Dan nggak ada tukang pijat yang semanjur pijitan Cici,” lanjutnya. Kami berdua
tersenyum dalam desahan kerinduan kami masing-masing.
*
Hari sebelas, rindu mencambuk-cambuk tanpa berbelas. Malam itu sunyi. Adik
sudah tidur duluan sebelum jam sebelas. Sekarang, setelah merapikan buku-buku
yang berserakan, aku duduk pada kafe mungilku, pada sebuah kursi pojok ditemani
rembulan yang mengintip pada jendela kayu yang gordennya sedikit tersibak. Sinarnya
yang tajam membentuk semburat-semburat warna putih kekuningan dalam pantulan
kayu-kayu di kafe mungilku. Kuambil secarik kertas dalam amplop yang tak pernah
lupa kubawa kemana-mana itu. Tidak lebar, hanya seukuran buku tulis biasa.
Aku memang tidak mau menyimpan kertas itu di sembarang tempat, aku tidak
ingin ada yang menemukan, bahkan membaca kertas ini. Aku tidak mau Adik tau,
begitu pula Mas Pram. Seperti sebuah sihir, ketika membaca tulisan yang
berderet rapi pada badan kertas itu, aku langsung menghitung deret umur yang
sudah terkumpul hingga sekarang. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dia
memberiku ujian saat aku berada diantara orang-orang yang aku cintai. Mas Pram,
Adik, pelanggan toko buku, dan pelanggan kafe.
Aku tidak pernah merasa terkutuk dengan kertas
diagnosis dari dokter ini. Kanker paru-paru. Stadium tiga. Aku berharap, ketika
deret usiaku nanti terhenti, aku masih bisa bertemu Mas Pram...(to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar