Jam-jam itu seperti menertawakanku. Dia berdetak terus maju, tidak perlu
memikirkan ketika baterainya habis, seseorang akan menggantikannya, dan dia
bisa terus berdetak hingga waktu tak lagi dibutuhkan manusia. Tapi manusia
terus membutuhkan penunjuk waktu, karena manusia takut tidak punya waktu.
Aku menelan obat-obat yang diberikan dokterku. Dokter bilang, obat-obat ini
tidak bisa menyembuhkanku, hanya akan mengulur waktuku hidup. Lihat, jam-jam
dinding, aku tidak lagi membutuhkanmu. Aku tidak perlu mengganti baterai jika
jarumu enggan bergerak karena mati. Kita akan mati bersama.
Bulan Februari, dan Mas Pram berhenti mendetak janji. Aku tidak lagi
menunggu kedatangan Mas Pram, karena kapanpun dia datang, dia akan melihat aku
yang terlena oleh kanker paru-paru stadium tiga. Aku tidak ingin melihatnya
terluka, tapi jelas aku masih merindukannya. Pertemuan demi pertemuan akan
menciptakan kenangan-kenangan baru yang mengisi hidupnya mendatang. Kalau
nantinya aku akan tiada mendahului Mas Pram, jadi kenapa aku harus menciptakan
kenangan untuk masa depannya dengan pertemuan-pertemuan yang direncanakan?
Tok...tok...tok...
Sebuah ketukan halus menggema di kamarku.
“Ci, ini Alena.”
Setelah aku buru-buru menyembunyikan obat kankerku, Alena masuk dan duduk
di kasur, di sebelahku.
“Cici baik-baik aja?” tanya Alena halus. Aku tersenyum.
“Dari dulu Cici nggak pernah bicara apapun kalo lagi ada masalah. Alena
khawatir Cici kenapa-napa gara-gara Mas Pram,” lanjut Alena. Aku menerawang.
Kuusap seprai tempat tidurku yang berwarna pink pucat dengan wangi khas pewangi
pakaian. Baru saja aku ganti sore tadi. Aku berpikir, ketika aku sudah
meninggal kelak, siapa yang akan mengganti seprai ini. Siapa yang akan
menempati tempat tidurku, sedangkan aku hanya tinggal berdua dengan Alena.
“Cici?” tanya Alena mengagetkanku. Aku tersentak.
“Cici nggak kenapa-napa kok Alena. Tidur bareng Cici yuk malem ini, sudah
lama Cici nggak denger cerita Alena tentang cowok-cowok yang berusaha deketin
Alena itu.”
Alena tersenyum. Matanya menyipit, pipinya tersembul lesung pipit.
“Ada yang baru nih Ci, namanya Dondi. Sini Alena ceritain!”
Sudah lama aku melakukan semuanya sendiri, tidak memperhatikan pertumbuhan
adikku. Alena baru dua puluh tahun, masih kuliah. Berapa lama waktu yang
tersisa untuk aku habiskan dengan Alena? Mungkin setahun, atau setengah tahun.
Siapa tahu?
*
Aku terbiasa menghitung tanggal pada setiap bulan. Sekarang tanggal lima
hari selasa bulan kedua. Aku sudah bernapas selama 36 hari sejak aku divonis
menderita kanker paru-paru stadium tiga. Aku bersyukur atas setengah abad
usiaku, atas pertemuan indah dengan Mas Pram, atas rahim yang nyaman dari
Mamak, atas warisan toko buku dan kafe yang menentramkan dari Papa, dan untuk
Alena yang menceriakan.
“Selamat siang Cici,” seorang lelaki menyapaku. Mengenakan kaos polo
berwarna merah dan celana jeans santai, dia membawa Perkara Mengirim Senja yang
berkover biru bermotif.
“Selamat siang, ini saja?” lelaki itu menyerahkan antologi cerpen senja itu
ke aku.
“Nama saya Dondi. Boleh bertanya sesuatu?” tanyanya.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Apa Alena menyukai senja?”
“Kamu temennya Alena?” aku ingat dengan nama Dondi yang Alena ceritakan
semalam.
Dondi menyodorkan Perkara Mengirim Senja-nya padaku sekali lagi.
“Saya ingin tahu, bagaimana cara mengirim senja buat Alena. Saya ingin
Alena tahu, ada yang bisa membuktikan keindahan cinta.”
“Kamu jatuh cinta dengan adik saya?”
“Akan saya kirim pada Alena, keindahan cinta pada sepotong senja.”
Aku terdiam. Ada beberapa orang yang secara masif membuktikan mati-matian
perasaan mereka. Ada yang sebagian lagi mengkamuflasekan cinta dengan kebiasaan
sehari-hari, seperti Mas Pram. Kebutuhan akan cinta dia samakan dengan
kebiasaan makan nasi tiga kali sehari.
“Coba kamu baca antologi cerpen ini. Nanti kalo sudah selesai, kamu akan
tahu, bagaimana mengirimkan senja pada Alena,” aku tersenyum.
“Terima kasih Cici. Sama persis seperti yang Alena sering ceritakan kepada
saya tentang Cici. Perangai Cici halus dan menenangkan. Beruntung sekali lelaki
yang bisa mendapatkan hati Cici,” Dondi memuji secara tulus. Aku sekali lagi
tersenyum. Sampai kapan aku bisa tersenyum? Sampai kapan aku masih punya nyawa
untuk menebar senyum seperti biasa?
*
“Mengirim senja? Hahaha... yang benar saja! Mengirim duit itu baru bukti
cinta!” Nana terbahak-bahak mendengarkan ceritaku tentang Dondi dan Perkara
Mengirim Senja-nya.
“Kok kamu tertawa begitu?”
Nana mencomot satu jeruk dan mengupasknya dengan cepat.
“Ini gratis kan?” tanya Nana. Aku mengangguk.
“Kenapa gratis?” tanyanya lagi.
“Papa dan Mamak selalu mengajarkan kemurahan hati dan ilmu berbagi dengan
sesama. Makanya saya selalu menyediakan buah-buahan gratis di kafe ini untuk
pengunjung.”
“Ini namanya cinta. Papa dan Mamak kamu sudah mengajarkan kamu bagaimana
cara mencintai pengunjung, dengan berbagi dan bermurah hati.”
Aku terdiam. Perkataan Nana yang sederhana terdengar skeptis. Tapi juga
terdengar benar. Tidak ada yang punya definisi salah tentang cinta, tidak ada yang
benar pula. Cinta itu terserah mereka. Terserah Nana juga.
“Lantas, bagaimana Dondi bisa mengirim senja buat Alena? Mengirim
cintanya?”
“Mau aku ajak keluar?” tanya Nana.
“Untuk apa?”
“Membuktikan keindahan cinta.”
Aku terdiam. Tapi juga tidak menolak.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar