Keesokan paginya, sebuah surat mendarat di meja kasirku. Pukul sembilan
pada tanggal dua puluh enam. Aku mual membaca nama pengirimnya. Dondi Himawan.
Ini tidak beres. Pelan-pelan kubuka isinya:
Dear Cici Runia,
Terima kasih telah
mengajarkan aku sedikit kehidupan yang tertinggal secara kasat mata. Sudah lama
aku hidup dalam hingar bingar hedonisme hingga melupakan detil kecil seperti
laut dan gunung. Dongeng indah Cici tentang garis cakrawala dan sentuhan gunung
dan langit membuatku bergairah lagi memperhatikan detil-detil kecil dalam
kehidupan
Cici, maafkan aku kalau
aku sudah menyakiti perasaan Cici, tapi ciuman di pantai beberapa hari yang
lalu adalah ketulusan yang secara mendadak menyeruak dari kepalaku. Aku memang
ingin mencium Cici, satu-satunya orang yang mengajariku bagaimana menghargai
kehidupan.
Tadinya aku pikir
kehidupan adalah tentang kelahiran, pertemuan, kemudian perpisahan. Tapi Cici
mengajariku bagaimana kesederhanaan adalah bagian dari kehidupan. Sejak hari
itu, aku sering memikirkan Cici.
Cici yang tidak pernah
mengenal dunia. Cici yang selalu memberi senyuman pada setiap orang. Cici yang
mengajariku bagaimana berbagi dengan sesama. Cici yang membuatku menghargai
ciptaanNya. Cici yang membuatku belajar. Cici yang membuatku jatuh cinta.
Sulit bagiku untuk
melihat semua itu dengan kedua orang tua yang sudah berpisah. Mama di Jogja,
Papa di Jakarta dengan istri barunya. Aku terbiasa hidup dengan mengutuk
pertemuan. Tapi pertemuan dengan Cici membuka kembali mata yang lama tertutup
tirani. Bersyukur karena telah mengalami, bukan mengutuk karena ditinggal
pergi.
Cici membuat aku
berterimakasih, karena setidaknya aku tahu Papa pernah sayang padaku dan Mama.
Maafkan aku yang lancang ini Ci, Cici boleh marah. Tapi jatuh cinta ini memang
tidak perlu ditangkap olehmu. Aku jatuh cinta dengan perasaanku, bukan dengan
perasaan Cici. Cici yang tidak membalas cintaku tetap membuatku jatuh cinta.
Cici yang apa adanya, yang menghargai hidup dengan kesederhanaan.
Boleh aku masuk ke dunia
Cici?
Dondi
Oh Dondi. Sekarang aku nggak tahu harus bilang apa. Aku harus bagaimana?
Aku menghela nafas panjang. Menjelang kematianku, kenapa harus ada
persoalan-persoalan rumit seperti ini? Aku merasa mengkhianati Alena dengan
surat Dondi barusan.
Sepasang Nenek dan Kakek langganan datang lagi kali ini. Seperti biasa,
mereka memesan teh ginseng dan teh sereh. Setelah membuatkan pesanan mereka,
aku kembali melamun di meja kasir dengan surat yang masih kupegang, entah akan
kuapakan.
“Cici, kenapa melamun terus? Murung sekali mukamu hari ini?” tanya Nenek.
“Saya nggak kenapa-napa kok Nek.”
“Mukamu ndak bisa berbohong. Sini
duduk di sebelah Nenek, Nenek pengen dengar ceritamu,” tawar Nenek. Aku
menurutinya, duduk di semeja dengan Nenek dan Kakek.
“Sudah lama Kakek ndak ketemu
sama cucu Kakek. Pasti sekarang sudah sebesar kamu, Ci,” ujar Kakek sabar.
“Nenek, Kakek, ada sesuatu yang sedang saya pikirkan, sebenarnya,” aku
membuka suara. Dan cerita mengenai Dondi dan suratnya mengalir dengan tenang
melewati celah telinga Nenek dan Kakek. Usai mendengar ceritaku, mereka berdua
tersenyum dan tertawa pelan.
“Nenek, Kakek, apanya yang lucu?” tanyaku.
“Ceritamu. Aneh sekali kamu, ada orang yang mencintaimu kok malah sedih,”
Nenek.
“Nek, lihat Nek, siapa yang jatuh cinta pada saya. Ini Dondi, Nenek,”
kilahku.
“Coba Nenek tanya, siapa yang tidak jatuh cinta pada gadis baik dan cantik
seperti kamu? Maksud Nenek, berapa persen dari keseluruhan wanita di dunia ini
yang memiliki hati dan raga secantik kamu? Kemurahan hati, keramahan, kesetiaan,
kesederhanaan. Apalagi kebaikan hidup yang tidak kamu punya, Cici?” jelas
Nenek. Aku tidak akan punya umur panjang, Nek. Aku melipat surat dari Dondi dan
menyelipkannya di saku rok terusanku.
“Sebaiknya Alena jangan sampai tahu,” ujarku.
“Bukan salah kamu Dondi jatuh cinta padamu. Cinta tidak bisa memilih, cinta
Dondi yang milik Dondi, kamu ndak
berhak membelokkannya. Masa iya kamu tega membelokkan perasaan orang?” timpal
Kakek.
“Terus saya harus gimana, Nek, Kek?”
“Bersikaplah baik pada Dondi, seperti kamu bersikap baik sama Nenek dan
Kakek. Keutamaan orang ada pada sikap dan akhlaknya antar sesama. Kamu ndak berhak marah sama dia karena dia
jatuh cinta sama kamu.” Nenek.
“Dan berbahagialah, hidupmu telah membuat orang lain bahagia. Orang lain
seperti Dondi, Nenek, dan Kakek,” kali ini Kakek yang tersenyum.
Cerpenya bagus, salam kenal dari 30 hari bercerita, mungkin mau khilaf baca blog aku http://farizsyahtria.blogspot.com/ , kalau suka follow yaa :)
BalasHapusmakasih udah mau baca hehehe... oke, aku berkunjung ya :D
BalasHapus