Agustus 29, 2010

Segelas Susu untuk Anakku

ANAK
Aku ingin mengingatkan. Namaku Wati. Aku putri pertama, sekaligus terakhir bagi ibuku, bukan ayahku. Aku bahkan tidak punya ayah. Atau punya? Tapi entah ada dimana. Ada banyak pria yang sering kulihat di rumah. Yang mana ayahku? Sebaiknya aku memendam pertanyaan ini untuk pikiranku saja. Aku tau, ibu sudah terlalu lelah.

Coba bayangkan, ibu bekerja semalaman suntuk! Ibu mengambil beberapa helai uang yang berjatuhan di lantai kamar, kemudian lelaki itu pergi. Lelaki terkesan tidak bertanggungjawab, ya? Tapi tak apalah, ibu masih dapat uang kok! Kata ibu, uang itu untuk biaya aku sekolah, makan, membeli baju baru, dan mengecat rumah. Warna dinding rumahku sudah kusam! Kupikir itulah alasan mengapa ibu bekerja lebih keras dari biasanya.

Biasanya, menjelang adzan subuh, ibu sudah sampai di rumah. Atau lelaki yang menemani ibu tidur dan melempar beberapa helai uang itu sudah beranjak dari teras. Tapi sekarang, ibu pulang usai matahari menjelang. Katanya," ya beginilah kerjaan wanita jalang,"

Aku tidak tau apa itu wanita jalang, aku masih kelas tiga SD. Aku hanya tau caranya memasak nasi dengan magic com, atau memasak mie instan. Ibu berpesan, aku tidak usah tau apa arti jalang, karena aku harus belajar. Sudahlah, yang penting ibu senang.

Setiap sore aku mengaji di surau. Pak Haji Umar adalah satu-satunya temanku. Pak Haji Umar mengajariku membaca huruf Arab yang tersambung-sambung itu. Tadinya aku tidak mengerti, tapi Pak Haji Umar menceritakan padaku banyak kisah menarik. Yang aku tau, tokoh-tokohnya bernama Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, dan banyak nabi lagi. Oh, aku tau sesuatu. Aku harus sembahyang.

Ya, memang benar, Haji Umar adalah temanku satu-satunya. Mungkin yang lain juga temanku, tapi kurasa tidak. Seorang teman tidak akan melempariku dengan batu, ranting, atau meludah di depanku. Dan seorang teman tidak akan meremas payudaraku. Aku tidak tau mengapa payudara tidak boleh dipegang, tapi tiba-tiba dadaku sesak, mataku panas, dan hatiku perih. Kata Pak Haji Umar, itu perbuatan yang tidak senonoh. Makanya aku sekarang memakai jilbab. Agar tubuhku terlindungi.

Tapi sekali lagi, "teman-teman" bilang aku munafik. Sehelai jilbab tidak akan mampu menyembunyikan aib seorang jalang. Apa sih jalang itu??
Kata Pak Haji Umar, aku tidak usah memikirkan kata itu, persis seperti kata ibuku. Kata Pak Haji Umar, aku disuruh banyak mengaji.

Maka aku menjadi sering mengaji, belajar, memasak nasi dengan magicom, memasak mi instan, memasak nasi, menyiram tanaman, dan berdoa untuk keselamatan ibu. Mengapa?

Karena, ibu bekerja semalaman, bekerja sangat keras untukku. Aku ingin menjadi seperti ibu.


IBU
Aku ini wanita jalang. Aku membayar kehidupanku dan anakku dengan dosa tiap malam. Masih bisakah aku mendapat surga kelak? Aku sudah bekerja keras, mengorbankan tubuh dan batinku, mengorbankan teman-teman anakku, hingga anakku kini tidak lagi punya teman. Dosakah aku?

Aku keluyuran tiap malam, melayani hidung belang dengan peluh bercampur tangisan, tangisan tanpa suara. Aku memberi makan anakku nasi dari uang yang tak halal. Tuhan, dosakah aku?

Tanpa bisa berkata lagi, aku jauhkan kata jalang dari anakku, agar kelak dia tidak menjadi sepertiku. Aku ingin memberikan anakku yang terbaik, aku ingin bisa memberikan anakku teman. Tapi kata anakku," aku punya teman yang paling hebat di dunia, Ibu, dan Pak Haji Umar."
Dosakah aku?

Aku tak pernah bisa memasakkan sayuran dan lauk untuk anakku, tapi anakku pintar memasak mi instan sendiri. Anakku pintar membuatkanku secangkir teh hangat setiap pagi, saat aku pulang kerja. Dan anakku memberi lebih dari secangkir cinta untukku. Dosakah aku?

Nak, maafkan Ibu. Ibu tak bisa memberiku yang terbaik...Ibu hanya bisa membuatkanku segelas susu cokelat kesukaanmu. Semoga kau bisa melihat ketulusan, dan airmata kebanggaan Ibumu ini untukmu, dalam tetes susu yang kau minum ...



regards :)
Thank You - Alanis Morissette


Tidak ada komentar:

Posting Komentar