It's way too late to think of
Someone I would call now
And neon signs got tired
Red eye flights help the stars out
I'm safe in a corner
Just hours before me
Ternyata anginpun mengerti. Aku
sedang mengalami pergolakan diri. Tentang sebuah rasa, sebuah cerita. Kalaupun
memang harus begini pada ujung takdirnya, kurasa memang harus belajar membuat
diri rela. Aku hanya tertunduk, terdiam, terasa…
**
Aku
dan kamu berhadapan. Aku dan kamu saling diam. Aku tau, nanar tatapmu menuju ke
sudut atas dinding yang teronggok di belakangku, tegak. Tapi mata hatimu,
entahlah, dimana kini? Aku menatap hampa pada pergelangan tangan yang terus
kukepal. Helaan napas terasa semakin berat saja. Tapi untuk mengeluarkan
mutiara airmata, bahkan sudahpun tak mampu.
“
Kamu yakin?” begitu tanyamu. Aku terus meyakinkan hati bahwa semua ini tidaklah
abadi. Sesal sebesar apapun tak akan mampu menerjang keyakinanku. Aku mengerti
betul bagaimana perasaanku, sedihku, senangku, tangisku, kamu.
“ Aku… yakin…” jawabku tak
yakin. Seruak rindu tiba-tiba datang menghadang langkahku. Rindu kebersamaan,
rindu ingin dicumbu rasa tak tentu sehari tiada cerita hidupmu mampir di
telingaku. Rindu bergandengan tangan di bawah pohon rambutan di taman tengah
kota, berdua menikmati es kelapa muda. Rindu mendengarmu bercerita tentang
mimpimu yang telah kau lepas pergi menjauh dari benua tempat kau berpijak.
Rindu menikmati hidup, denganmu tentu.
Rindu
menjadi wanita yang kau cintai dengan sepenuh hati, meski dengan setengah
sembunyi.
“
Menurutmu, langkahmu sudah benar?” tanyamu lagi.
Jangankan
benar atau salah, kiri dan kanan saja serasa sulit dikenali! Suasana hati perih
sekali, seperti terajam jeruji besi. Tapi sebagai seorang wanita yang
menghormati adab berkawan setia, aku harus mengesampingkan keseluruhan hidupku.
Mengesampingkan kebahagianku. Merelakan kamu.
**
I'm waking with the roaches
The world has surrendered
I'm dating ancient ghosts
The ones I made friends with
The comfort of fireflies
Long gone before daylight
Betapa sulitnya menghapus kenangan
paling paradoks dalam hidup. Kenangan paling tabu, sekaligus kenangan paling
ingin kuhirup. Seperti menghirup wangi kopi dari kerah bajumu, seperti menghirup
kelopak bunga layu yang kau berikan padaku. Seperti menghirup kebahagiaan
berdua denganmu, meski dengan embel-embel kisah yang saru.
Deburan ombak itu masih berlarian di
kakiku, menghibur desau sedihku yang merosot sampai jauh ke dalam hati paling
ujung. Aku tersenyum. Ada sebuah kelegaan yang datang tanpa perlu diundang.
Kelegaan yang berbalutkan perih yang luar biasa mengiris.
And if I had one wish fulfilled tonight
I'd ask for the sun to never rise
If God leant his voice to me to speak
I'd say go to bed, world
**
Kamu
menyentuh ujung jariku, membelai lembut di tengah pergolakan keras hatimu.
Jasmu masih wangi, masih tersemat sebuah bunga putih nan cantik di saku bagian
kanan atas. Ada sebuah syahdu melihatmu mengenakan baju resmi untuk mempelai
pria. Tentu kamu terlihat tampan luar biasa. Wajahmu licin bersih, dan rambutmu
rapi jali. Sapuan make up tipis membuat dirimu semakin mencuri perhatianku.
Tapi aku tahu, semua itu tabu.
“
Aku tidak seberani yang kamu harapkan, aku bukan ksatria yang kamu inginkan.
Aku tidak pantas menjadi lelaki. Aku bahkan tidak bernyali mengakui hati sendiri,”
kamu berkata sedih.
“
Tapi ini untuk kebaikan kita. Dari awal kita sudah salah, sudah tak bisa
menjadi halal.” Matamu berkaca-kaca.
“
Aku yang membiarkan dirimu pergi, semua bukan karena keputusanmu. Ini semua
aku, it’s all about me,” kudengar bibirku berbicara lantang. Aku ingin
mengeluarkan semua berat yang terkubur dalam rasa, aku ingin menghilangkan
bayang gelap yang terselubung dalam setiap helah nafas. Life must go on, dan
aku menghirup napas panjang.
“
I will always love you. Always…” bibirmu berkata lirih. Sebuah kata
cinta yang pertama. Dan mungkin terakhir.
“
I will always love you. Always…” aku kembali membalas cintanya.
Membalas kata cintanya untuk yang pertama, dan mungkin yang terakhir pula. Dan
aku meledak, aku semakin meledak kala dia melangkah menjauh. Kakiku gontai
menyangga beban tubuhku. Tak menyangka akan sesakit ini menyaksikan lelaki yang
kucintai menikahi gadis lain. Aku menggontai, dan aku meledak. Dalam tangis
yang tak berkesudahan.
**
I've always been too late
To see what's before me
And I know nothing sweeter than
Champaign from last New Years
Sweet music in my ears
And a night full of no fears
Dan aku meledak. Meledak hingga
malam hendak hilang ditelan terang. Dan aku meledak dalam pantai yang berdebur
terhantam ombak. Dan aku meledak dalam hilang, dalam hilangnya cintaku. Mungkin
inilah yang selama ini aku nantikan, meledak dalam tangis yang akhirnya menarik
keluar semua rasa. Entah sedih, entah bahagia, entah cinta. Entah dia, entah
rasa, entah segala, entah semesta.
Maka akupun hilang. Aku ingin
menjadi hambar saja, ingin tak merasa. Setiap senti tubuhku kurasa tenggelam.
Deburan ombak kurasa tadi menggelitik kakiku, kini terasa lembut menerpa
wajahku. Ada ragu yang sekelebat menjemput, tapi ternyata hanya sebuah sambil
lalu yang tak sengaja menampar wajahku, namun tak pilu. Aku tersenyum, aku akan
kebas, aku akan bebas. Maka maafkanlah segala rasa, kurasa semua hanya akan
membuat hidupku berhenti di suatu titik. Tapi, bukankah kita pernah berjanji
akan meregang nyawa bersama?
Aku menutup mataku, berharap kaupun
akan begitu. Tapi maafkanku sekali lagi, bila aku mendahului…
But if I had one wish fulfilled tonight
I'd ask for the sun to never rise
If God passed a mic to me to speak
I'd say stay in bed, world
Sleep in peace
(No Sleep - The Cardigans)
9.01 p.m
Dsn. Gondang, Ds. Wukirsari Kec. Cangkringan
July 6th 2011