Mei 11, 2015

Lelaki yang Lupa Bercukur

Sepulang kerja sore itu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum pulang ke rumah. Aku selalu menyukai aroma udara sore hari. Tapi tentu saja, karena ini di Jakarta, aroma udara yang tercium sudah pasti tercampur dengan asap kendaraan dan debu-debu kering yang beterbangan. Tapi entah kenapa, selalu ada magis yang membuat sore selalu lebih teduh.
Aku memandangi apa yang tampak di depanku. Kemudian memandangi kedua kakiku. Bergantian, memandangi lagi bangunan di depanku. Tidak ada yang menyuruhku aku datang kesini. Kedai Kopi Hitam. Tapi kakiku, kenapa selalu bergerak kesini?
Seakan Kedai Kopi ini memang diciptakan untuk manusia-manusia kesepian.

Aku duduk di pojok dekat jendela seperti biasa. Dari pojokan jendela ini, aku bisa membebaskan pandanganku ke jalanan tanpa terhalang apa-apa.
"Silakan, kopinya."
Seorang pelayan mengantarkanku secangkir kopi hitam yang mengepul. Kopi itu mengingatkanku pada kehidupan. Gelap, kelam. Tapi harum, manis, dan pahit. Aku enggan meneruskan pemikiranku tentang kehidupan. Aku lebih tertarik memikirkan tentang Bapak. Dan kata-kata Bapak.
"Saya tidak tahu kalo kamu kesini. Menunggu saya?" sebuah suara yang tidak asing bagiku, mendadak muncul. Lelaki itu berdiri di depanku. Kemudian dengan gerakan normal, dia duduk di bangku kayu itu.
"Aku tidak menunggu kamu."
"Lantas, Kedai Kopi Hitam, pojokan jendela? Manalagi yang membuktikan kamu tidak sedang menunggu saya?" lelaki itu terus mencecarku. Aku mendengus kesal, kemudian berdiri.
"Aku tidak sedang menunggu kamu. Look, i'm leaving," aku berjalan menuju pintu kelua kedai setelah meletakkan uang sepuluh ribu di meja.
"Tunggu!" dia menahanku, kemudian menyusulku keluar kedai.
"Kenapa kita berdua bertemu disini? Maafkan saya, saya sedang sensitif beberapa hari ini," ia mengejarku.
"Sekarang kamu ngejar aku, kamu mau apa?" tanyaku kesal.
"Saya ...  saya tidak tahu apa yang saya mau. Saya sedang berada pada titik terjauh dari idealisme saya. Kamu sendiri?"
"Aku? Kenapa kamu bertanya tentangku?"
"Hahaha ... kurang apalagi? Perlu saya tambahkan rokok untuk melengkapi pernak-pernik kegalauanmu itu? Apa yang sudah hidup tawarkan sama kamu?"
Aku berhenti berjalan, menoleh dan memandang pria di depanku saat ini. Hari ini dia terlihat sangat sinis. Wajahnya kusut, dan kurasa sudah seminggu dia tidak bercukur.
"Coba sekarang kamu jawab aku, apa yang kamu tahu tentang hidup?" tanyaku menantang.
"Kamu menanyakan tentang hidup kepada pria yang sedang merasa kehilangan? Semua hanya siklus. Hidup pun demikian. Kini giliran siklusku yang menyuruhku untuk bepindah. Dan seperti yang semua orang tahu, perpindahan memerlukan energi yang besar, maka dari itu, aku..."
"Mabuk." kupotong omongannya.
"Masih sore dan kamu sudah bau alkohol. Memalukan sekali dirimu!" kuejek dia. Dia terkekeh sinis lebih lama lagi.
"Tahu apa kamu tentang energi? Kamu terlalu lama berkubang dalam pertanyaan yang tidak kamu temukan jawabannya."
Aku terperangah. Aku merasa seperti kerbau yang kelamaan berkubang. Ingin sekali lagi kutanyakan padanya, siapa dirinya. Tapi aku hanya menemukan angi yang keluar dari mulutku.
"Aku sedang tidak tertarik bermain Who Has The Worst Problem Ever, tapi kurasa kita semua sedang punya masalah yang cukup pelik," ujarku.
"Istri saya minta cerai. Dia minta saya jadi duda," dia berkata pelan. Aku mendongak.
Di trotoar yang sepi pejalan kaki ini, aku berbicara dengan orang asing yang berdiri satu meter di depanku. Aku merasa sedang menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
"Aku bahkan tidak tahu kamu sudah punya istri," aku meneruskan berjalan. Dia mengikutiku, dan berjalan di sampingku.
"Aku bahkan tidak tahu kamu gay atau straight," dia tersenyum sambil menoleh jenaka.
"Ada banyak hal yang sejujurnya tidak perlu kita tahu," jawabku.
"Kamu benar. Seperti menatap wajahnya yang terlihat merana ketika bersamaku. Adakah yang lebih menyakitkan ketika kita bersama seseorang yang tidak pernah bahagia dengan kita? Atau, ketika kita tahu bahwa selama ini yang kita jalani hanya bohong belaka, dan pada akhirnya, tidak ada ujung yang kita harapkan? Hai, Dre, dengar, aku lelah dengan semua ini," lelaki itu bercerita panjang lebar.
"Kenapa kamu tidak mempertahankan pernikahanmu jika kamu benar-benar mencintainya?" tanyaku. Arkana berhenti berjalan seketika. Wajahnya menegang seperti menyadari sesuatu.
"Apa menurutmu penting sekali mengetahui seseorang luar dalam? Kurasa semakin kita banyak tahu, semakin kita nggak tahu. Pernah dengar kata-kata tersebut?" tanyaku.
"Jadi, karena itulah kamu menghindar dari manusia-manusia diluar sana? Kenapa kamu tidak menghindar dari saya? Saya beracun," desis Arkana.
"Then you're a lucky bastard," jawabku cepat.
"Dre, saya rasa istri saya sudah tidak lagi mencintai saya."
"Aku belum pernah mengalami kasus seperti ini. Tapi soal cinta..." aku menerawang. Aku teringat dengan seseorang yang mengajariku bagaimana rasanya mencium cinta. Rasa hangat tiba-tiba menjalar hingga ke dalam tulang-tulangku.
Orang yang tidak akan pernah bisa kutemui. Baik di dunia ini, ataupun di dunia selanjutnya.
"Dulu saya memang cuek terhadap istri saya. Dan dia bersikap manis pada saya. Kemudian sesuatu terjadi. Saya tidak lagi melihatnya sebagai orang yang sama. Atau saya sudah terlalu biasa dengan keluhan-keluhannya? Tentang uang bulanan yang saya beri, yang bahkan tidak bisa mencapai sepertiga gajinya tiap bulan, tentang saya yang terlalu menikmati waktu sendiri saya, tentang kopi dan buku catatan kecil ini, tentang ketegangan-ketegangan setiap majalah saya terbit. Kamu tahu kalo saya wartawan?" tanya Arkana.
Tiba-tiba aku terhenyak pada memori beberapa minggu silam, ketika jari-jari tanganku berhenti pada  inisial nama pada sebuah artikel mengenai seorang suami yang membunuh istrinya yang berprofesi sebagai aktris karena cemburu.
Tiba-tiba saya merasa limbung. Kurasa ini bukan firasat, tapi ini terlalu kuat untuk tidak dikategorikan sebagai sebuah pertanda. Siapa sebenarnya lelaki disebelahku ini?
"Dre?" Arkana membuyarkan lamunanku.
"Kamu merokok?" tanyanya. Aku menggeleng cepat. Dia menyalakan sebatang rokok lagi, dan menghempaskan asapnya yang bulat-bulat di ke depan.
Aku harus setiap pada prinsipku kali ini, semakin banyak yang orang tahu tentangku, semakin lemah aku di hadapan mereka. Matahari sudah melicinkan diri di barat langit. Sulur-sulur jingga bercahaya menerpa langit yang mulai mengelabu. Hari sudah menyuruhku untuk pulang. Ada Bapak dan Bima yang menungguku untuk makan malam.
"Arkana, aku harus lekas pulang. Selamat tinggal," aku mempercepat langkahku menuju perumahan tempatku tinggal, satu kilometer jaraknya dari tempatku berpisah dengan Arkana.
"Dre! Kenapa selamat tinggal?" teriak Arkana. Aku sudah berjalan menjauh. Kubalikkan kepalaku, dan kulihat lelaki yang lupa bercukur itu masih memandangku dengan tanda tanya. Kamu tahu maksudku, Arkana, kamu tahu.

Kamu hanya tidak ingin apa yang kamu tahu menjadi sebuah kenyataan.

Aku mempercepat langkahku, menyongsong matahari yang tinggal separuh.