Februari 16, 2015

Karena Aku Tidak Ingin Meninggalkanmu

Aku pernah memiliki teman. Seorang teman baik yang selalu menjadi muara segala cerita-ceritaku. Tapi semenjak beberapa waktu lalu, aku melepaskan temanku. Banyak yang bertanya kenapa, dan banyak yang menerka bahwa aku dijauhi temanku. Tidak. Akulah yang menjauhi mereka. Aku sungguh tidak ingin membuat temanku kepikiran tentangku. Tentangku yang memiliki pembenci di tempat aku hidup.

Kata-kata benci selalu mendarat kepadaku. Aku menjadi negatif. Aku takut menyakiti temanku. Aku menjauh demi kebaikannya. Dan demi kebaikanku. Aku membaca lebih banyak. Lebih banyak huruf yang kutelan setiap harinya dibandingkan butiran nasi dalam makan siang dan malamku. Aku tidak pernah sarapan.

"Tuh kan, apa aku bilang, kamu dijauhi temanmu kan!" pernah suatu hari kudengar dia komentar.

Aku sudah kebas dengan segala yang dia bilang. Buatku, semua itu invalid, dan aku tidak boleh ambil pusing dengannya. Jadi, aku selalu diam, dan diam dalam duniaku sendiri.
Aku menjalani hidupku bagai air dalam sungai tanpa riak. Mengalir tanpa hambatan apapun.

*

Sore itu, aku pulang dengan agak tergesa dari kantor. Setelah mendapat email penawaran untuk menjadi ghost-writer untuk seorang psikolog, aku memutuskan untuk pulang cepat dan menemui calon klienku untuk berbicara lebih lanjut. Kami janjian di klinik tempatnya praktek. Aku harus menaiki busway dua kali untuk mencapai kliniknya.
Debu-debu beterbangan diatas aspal, menjulang meninggi diterpa kendaraan roda dua dan roda empat. Tanda-tanda kemacetan sudah terlihat dengan padatnya kendaraan oleh manusia beserta mesinnya. Aku harus mengusap peluhku berulangkali. Matahari pukul lima sore masih terlampau galak rupanya.
"Dre, Dre!" kudengar seseorang memanggil namaku. Hatiku berdentam-dentam mendengar suara yang tidak asing lagi. Sebulan lebih aku tidak lagi dipanggil dengan sebutan itu.
Kutolehkan kepalaku ke belakang, Arkana tempak berlari-lari dengan membawa tas punggung hitam. Wajahnya berkeringat dan kelelahan. Kantung matanya menonjol dan kehitaman. Kudengar nafasnya memburu.
"Dre!" akhirnya dia mencapaiku.
"Dre," panggilnya. Aku masih tertegun diam dan tidak tahu harus berlari atau mendengarnya memohon untuk meminta waktu untuk berbicara.
"Arkana," kubalas panggilannya.
"Dre, kamu darimana saja?" tanyanya.
"Dari kantor," jawabku singkat.
"Sudah lama kita tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja."
"Dre, ada yang salahkah dariku?" tanyanya lagi.
"Tidak," jawabku.
"Dre, please," dia terlihat memohon.
"Aku tidak tahu caranya berteman, Arkana."
"Apa maksudmu, Dre?"
Aku dulu pernah punya teman. Dulu aku pernah meninggalkan temanku.
"Arkana, aku tidak ingin membuatmu meninggalkanku."
"Aku tidak akan meninggalkanmu..." nadanya terengar penuh tanya. Arkana tidak mengerti apa yang dirinya sendiri katakan.
"Aku harus kerja, Arkana. Aku ada janji dengan klien," jelasku berharap dia tahu kalau aku akan mengucapkan closing-line selepasnya.
"Dre, boleh aku bertemu lagi denganmu?" tanya Arkana memohon.
"Ada apa, Arkana? Kenapa denganku?"
"Justru karena aku tidak tahu siapa kamu, makanya aku ingin mengenalmu."
"Arkana, kamu tidak mengerti."
"Kamu yang tidak mengerti, Dre."
"Terserah kamu. Aku harus pergi. Permisi."
Aku meninggalkan Arkana sendirian di pedestrian menuju halte busway. Udara panas perlahan menurun, menjadikan petang menjadi lebih sejuk.

Arkana, aku sudah pernah punya teman, dan aku meninggalkannya. Aku tidak ingin berteman denganmu, karena aku tidak ingin meninggalkanmu.


*

Dre, kenapa kamu selalu ingin kabur dari saya? Semakin kamu kabur, semakin saya ingin mengenalmu. Mengapa kamu selalu berwajah sendu? Mengapa kamu selalu tidak ingin menjadi bagian dari hidup orang lain? Mengapa kamu begitu membuat saya merasa lebih hidup? Mengapa kamu membuat saya menginginkanmu?