Agustus 30, 2010

Lampu Wasiat di Tepi Jalan

Suatu hari aku bertemu dengan lampu ajaib. Seperti dalam dongeng, aku gosok sisi kanannya dan berharap ada jin manis yang akan mengabulkan semua permintaanku. Karena ya, deep inside of my heart, aku punya banyaaaaak sekali permintaan. Termasuk ingin menjadi kupu-kupu.

Tau tidak, kupu-kupu sungguh memiliki hidup yang sempurna. Dia lahir denan menendang kepompong gendut, dan bertransformasi menjadi sepasang sayap warna-warni yang indah (dan mewarnai dunia juga, red). Kemudian aku ingin mempunyai kepak sayap yang indah, bisa terbang, dan menghisap madu. Dan membantu bunga berkawin. Oh, indahnya, aku bisa menolong bunga!

Tapi aku tersentak, otakku berhenti memutar memori kupu-kupu. Ada seorang anak kecil melempariku dengan kerikil. Ah, sirik, mari kita lanjutkan! Jin, kok kamu ngga keluar-keluar sih? Aku pingin jadi dewi kupu-kupu nih!

Kemudian aku ingat dengan kunang-kunang lagi. Akan sama hebatnya dengan matahari kalo aku bisa menciptakan cahaya sendiri. Aku akan adil pada semuanya, oke? Begini saja, aku akan membagi cahayaku kepada kamu, kamu, kamu, tapi dengan satu syarat. Kamu tidak boleh nakal. Atau kamu justru akan menerima sengatanku saat aku menjadi lebah nantinya.

Ah, indahnya menjadi lebah! Aku bisa menghasilkan madu sendiri tanpa bantuan bunga! Aku bisa menyengat anak-anak nakal sampai menangis dan kapok mengusik sarangku. Senang senang senang! Aku akan membuat prajurit gagah berbokong besar untuk menjaga sarangku. Ah, tampannya dunia ini!

Tapi tunggu dulu! Kenapa jin ini tak kunjung keluar pula? Apa dia malu? Apa dia takut padaku? Duk..tuk tuk tuk...ah, sebuah kerikil lagi. Rupanya keberadaanku sudah tak diinginkan disini. Ayolah jin, segera keluar saja, atau kucakar dinding-dinding emasmu?

Aku hampir putus asa, padahal aku baru saja menemukan asa. Tapi kini dia telah pergi entah kemana. Mungkin aku yang terlalu berharap. Atau Tuhan memang tidak mengijinkan aku menjadi sesuatu yang lebih indah? Tuhan suka aku yang kudisan seperti ini. Kugerakkan keempat kakiku meninggalkan lampu wasiat itu sendirian. Mungkin takdirku adalah berjalan sendiri seperti ini...guk...guk...

"Pergi kau, anjing kudisan! Bikin bau saja disini!"
"Guk guk guk...!" aku bahkan tidak bisa membela diriku sendiri...



-syukurilah hidupmu, begitulah caramu menghargai hidup-
regards :)

Agustus 29, 2010

I Remain

How crass you stand before me
With no blood to fuel your fame
How dare you weild such flippancy without requisite shame
Your very existence becomes my sacred mission's bane
You bow to kiss my hand and I ignore ignited flame

I moved to meet you
Untouched I do remain

To some it seems foreign
Why I would steely forge ahead
This land entrusted to me knows not of hallowed secrets
I'll keep it to myself
My own advicement in my head
Your charm can not distract me
From the path I'm born to tread

How Im thrilled to know you
Affected, I remain(ed?)

How Ive learned to like you
Undeterred I do remain

Less daunting as team?
You unlikely king by my side
And me, so much better for trusting you
My hand over your heart
While you keep hindrances at bay
Color me surprised by how our union saves the day

How I've grown to need you
As my soul I just faiths
How I love to know you
And how I remain
I remain
I remain
I remain
I remain
I remain
Oh

Everything

I can be an asshole of the grandest kind
I can withhold like it's going out of style
I can be the moodiest baby and you've never met anyone
Who is as negative as I am sometimes

I am the wisest woman you've ever met.
I am the kindest soul with whom you've connected.
I have the bravest heart that you've ever seen
And you've never met anyone
Who's as positive as I am sometimes.

I blame everyone else, not my own partaking
My passive-aggressiveness can be devastating
I'm terrified and mistrusting
And you've never met anyone as,
As closed down as I am sometimes.

What I resist, persists, and speaks louder than I know
What I resist, you love, no matter how low or high I go

I'm the funniest woman that you've ever known
I'm the dullest woman that you've ever known
I'm the most gorgeous woman that you've ever known
And you've never met anyone
Who is as everything as I am sometimes

You see everything , you see every part
You see all my light and you love my dark
You dig everything of which I'm ashamed
There's not anything to which you can't relate
And you're still here

Segelas Susu untuk Anakku

ANAK
Aku ingin mengingatkan. Namaku Wati. Aku putri pertama, sekaligus terakhir bagi ibuku, bukan ayahku. Aku bahkan tidak punya ayah. Atau punya? Tapi entah ada dimana. Ada banyak pria yang sering kulihat di rumah. Yang mana ayahku? Sebaiknya aku memendam pertanyaan ini untuk pikiranku saja. Aku tau, ibu sudah terlalu lelah.

Coba bayangkan, ibu bekerja semalaman suntuk! Ibu mengambil beberapa helai uang yang berjatuhan di lantai kamar, kemudian lelaki itu pergi. Lelaki terkesan tidak bertanggungjawab, ya? Tapi tak apalah, ibu masih dapat uang kok! Kata ibu, uang itu untuk biaya aku sekolah, makan, membeli baju baru, dan mengecat rumah. Warna dinding rumahku sudah kusam! Kupikir itulah alasan mengapa ibu bekerja lebih keras dari biasanya.

Biasanya, menjelang adzan subuh, ibu sudah sampai di rumah. Atau lelaki yang menemani ibu tidur dan melempar beberapa helai uang itu sudah beranjak dari teras. Tapi sekarang, ibu pulang usai matahari menjelang. Katanya," ya beginilah kerjaan wanita jalang,"

Aku tidak tau apa itu wanita jalang, aku masih kelas tiga SD. Aku hanya tau caranya memasak nasi dengan magic com, atau memasak mie instan. Ibu berpesan, aku tidak usah tau apa arti jalang, karena aku harus belajar. Sudahlah, yang penting ibu senang.

Setiap sore aku mengaji di surau. Pak Haji Umar adalah satu-satunya temanku. Pak Haji Umar mengajariku membaca huruf Arab yang tersambung-sambung itu. Tadinya aku tidak mengerti, tapi Pak Haji Umar menceritakan padaku banyak kisah menarik. Yang aku tau, tokoh-tokohnya bernama Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, dan banyak nabi lagi. Oh, aku tau sesuatu. Aku harus sembahyang.

Ya, memang benar, Haji Umar adalah temanku satu-satunya. Mungkin yang lain juga temanku, tapi kurasa tidak. Seorang teman tidak akan melempariku dengan batu, ranting, atau meludah di depanku. Dan seorang teman tidak akan meremas payudaraku. Aku tidak tau mengapa payudara tidak boleh dipegang, tapi tiba-tiba dadaku sesak, mataku panas, dan hatiku perih. Kata Pak Haji Umar, itu perbuatan yang tidak senonoh. Makanya aku sekarang memakai jilbab. Agar tubuhku terlindungi.

Tapi sekali lagi, "teman-teman" bilang aku munafik. Sehelai jilbab tidak akan mampu menyembunyikan aib seorang jalang. Apa sih jalang itu??
Kata Pak Haji Umar, aku tidak usah memikirkan kata itu, persis seperti kata ibuku. Kata Pak Haji Umar, aku disuruh banyak mengaji.

Maka aku menjadi sering mengaji, belajar, memasak nasi dengan magicom, memasak mi instan, memasak nasi, menyiram tanaman, dan berdoa untuk keselamatan ibu. Mengapa?

Karena, ibu bekerja semalaman, bekerja sangat keras untukku. Aku ingin menjadi seperti ibu.


IBU
Aku ini wanita jalang. Aku membayar kehidupanku dan anakku dengan dosa tiap malam. Masih bisakah aku mendapat surga kelak? Aku sudah bekerja keras, mengorbankan tubuh dan batinku, mengorbankan teman-teman anakku, hingga anakku kini tidak lagi punya teman. Dosakah aku?

Aku keluyuran tiap malam, melayani hidung belang dengan peluh bercampur tangisan, tangisan tanpa suara. Aku memberi makan anakku nasi dari uang yang tak halal. Tuhan, dosakah aku?

Tanpa bisa berkata lagi, aku jauhkan kata jalang dari anakku, agar kelak dia tidak menjadi sepertiku. Aku ingin memberikan anakku yang terbaik, aku ingin bisa memberikan anakku teman. Tapi kata anakku," aku punya teman yang paling hebat di dunia, Ibu, dan Pak Haji Umar."
Dosakah aku?

Aku tak pernah bisa memasakkan sayuran dan lauk untuk anakku, tapi anakku pintar memasak mi instan sendiri. Anakku pintar membuatkanku secangkir teh hangat setiap pagi, saat aku pulang kerja. Dan anakku memberi lebih dari secangkir cinta untukku. Dosakah aku?

Nak, maafkan Ibu. Ibu tak bisa memberiku yang terbaik...Ibu hanya bisa membuatkanku segelas susu cokelat kesukaanmu. Semoga kau bisa melihat ketulusan, dan airmata kebanggaan Ibumu ini untukmu, dalam tetes susu yang kau minum ...



regards :)
Thank You - Alanis Morissette


Agustus 25, 2010

Ah, Miskin!

Sangat mengusik sekali lagu di tetangga sebelah. Musik dangdut yang disetelnya dari tadi seakan sudah ingin melubangi gendang telinga. Dan yang lebih parah lagi, suara musik dangdut itu masih harus melawan suara cempreng dari si pemilik kaset yang tidak kalah buruk dari kaleng rombeng. Ah, hujan! Pasti sebentar lagi petir akan datang. Tolong, sore ini seharusnya syahdu, tapi kenapa menjadi berisik! Kasar di kuping, tidak pernah ada kelembutan. Bahkan, volume musik setan itu sudah dinaikkan lagi menjadi volume maksimum!

Pelan tapi pasti, guyuran hujan semakin deras. Jutaan desah air meluncur menghujam tanah lembek di depan kontrakan. Bukan, komplek kontrakan. Beberapa air menuruni dinding, mengalir membasahi sprei buluk dan bau yang membungkus kasur tipis milik Gendis. Dia tidak punya cukup ember untuk menampung rentetan air yang menerobos dari gentengnya. Longsor, sebaiknya longsor saja biar rumah ini hancur! Biar pemerintah mau memberinya ganti rugi! Toh aku juga bayar pajak, pikir Gendis.

Dari kejauahn terdengar suara ribut. Orkestra apalagi itu? Pusing! Setiap hari selalu begitu, kalo memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kenapa tidak cerai saja! Ah, paling-paling mereka berdua tidak bisa menahan nafsu sex mereka bila harus berpisah. Hanya untuk teman di ranjang. Dasar miskin! Ngga mampu beli perempuan di Sarkem. Sakit telinga.

Jatuh bangun aku mengejarmuu...
Namun dirimu tak mau mengertiii...

Setan! Bukannya lagu ini sudah sejuta kali diputar? Tidak punya lagu lain yang lebih manusiawi dan lebih cocok dengan hujan? Dasar orang miskin, ngga punya selera!

Dok...dok...dok!!
Televisi butut ini memang harus dipukul dulu biar warnanya tidak goyang-goyang. Apalagi ditengah hujan petir kayak gini, bikin tambah tidak karuan. Masih untung punya televisi! Yang lain? Hanya radio butut, hanya karpet butut, kontrakan butut, suami butut! Ah, siapa suruh jadi miskin!

"Woy, kecilin suara dangdut brengsekmu itu! Bikin tiviku nggak mau nyala nih!" teriak Gendis marah.
" Nonton tivi apa film mesum kau! Hahaha!" balas tetangga.
" Setan!"
" Butuh gaya baru buat pelangganmu ya? Sini, gue ajarin!"
" Iblis!"

Percuma ngomong sama orang miskin! Nggak punya pendidikan, nggak bisa ngomong! Rumah reyot, harus ngontrak pula! Bah, katanya negara kaya, dimana-mana bisa tumbuh padi! Preeet! ah, dan kenapa juga harus bersekat anyaman bambu begini! Mengesalkan!

Dan di pojok, teronggok sebuah benda bulat berwarna hijau berlogo SNI. Gendis meliriknya. Benda sialan itu, kenapa minyak tanah menjadi sangat langka, malah dikasih bom seperti itu. Pemerintah mau membunuh orang miskin ya? Tapi asyik juga kalo bisa bermain-main dengan pemerintah. Mata Gendis berputar nakal. Biarkan saja pejabat negara tidak ada yang tertarik dengan tubuh kerempengnya, toh sesama orang miskin lain masih ada yang mampu membayarnya seratus ribu. Tapi membuat kekacauan di tengah hujan deras? Ah, semoga longsor saja! Gendis membuka selang tabung elpiji di pojokan, ruangan menjadi berbau gas. Untunglah, masih ada beberapa batangan korek di kontrakan bututnya ini. Kata orang Jepang, ini namanya suicide. Biarkah, sudah bosan menjadi orang miskin, sudah bosan menunggu tanah longsor!

Ah!

Dimana-mana sedang banyak orang berteriak hijau, hijau, hijau! Bahkan gas elpiji tiga kilo pun berwarna hijau dan sering meledak tanpa pernah mengisyaratkan pertanda. Dimana-mana demam hijau, materi seminar selalu mencatut kata "hijau" pada judulnya, kuliah umum selalu bilang hijau untuk kedamaian dan melawan pemanasan global, mulut-mulut mereka tak henti bilang "greenpeace greenpeace", dan pembantu rumah tangga pun menyiram tanaman dengan alasan agar si daun tetap berwarna hijau!

Tapi itu mulut, hanya saru organ yang memberi sinyal bahwa mereka menyeru perang terhadap pemanasan global, memblokade pngrusakan alam dan dengan angkuhnya menunjuk beberapa golongan sebagai penyebab hancurnya bumi hingga mendekati kiamat. Hanya mulut.

Bumi memang sudah tua, sakit dan bopeng disana sini. Dunia sudah sakit. Sekarang sudah parah. Lantas kemana mereka selama ini? Berada di bawah ranjang mana mereka sebelum mulut mereka menghindari kesalahan dengan berteriak hijau? Oh, saya tau, mereka seperti monyet! Berteriak lantang memblokade dunia hanya untuk menyembunyikan jutaan pohon yang mereka gunakan untuk membuat kertas, jutaan kulkas yang memproduksi gas CO dalam rangka merusak lapisan ozon, anti jalan kaki yang mebuat bumi penuh dengan gas sialan dan sesak napas dimana-mana!

Ah, semua memang hanya mulut. Hanya mulut yang punya otak, bisa berdusta, bisa berbohong. Hanya mulut yang menyelamatkan tangan-tangan mereka yang masih sempat membuang sampah di sungai, hanya mulut yang bisa menyembunyikan kaki palsu mereka di balik puluhan mobil mewah di garasi rumah mereka, hanya mulut yang pandai, pintar, licik.