Mei 18, 2010

The (Un)Perfect Life

Firen berjalan semakin jauh dari rumahnya. Biarlah meski raga ngga diijinkan untuk dekat dengan cintanya, dia juga ngga mau dekat dengan rumahnya. Rumah yang seperti neraka. Hatinya bersenandung lirih, dangkal. Pikirannya kacau, pertengkarannya dengan Papa membuatnya semakin muak dengan keadaannya. Dia ngga pernah meminta untuk dilahirkan di keluarga sok priyayi seperti itu. Bukan dunianya bila dia harus selalu tampak seperti putri tunggal yang sempurna dan menikah dengan pangeran manja yang sok pamer harta. Dia bukan seperti itu.

Dia telah menemukan jalannya. Meski harus diawali dengan lara, tersaruk dan timpang, ini adalah jalan yang terbaik. Biarkan saja Papa dan Mama menangisi dirinya semalaman, dia bukan lagi barbie yang bisa dengan mudah diiniitukan. Dia punya kepribadian yang kuat, yang pantang menyerah dan bebas. Dia bukan prisoner.

Sebuah surat tergeletak manis di atas tempat tidur. Lumuran darah membuatnya semakin tragis. Ya, hidup memang tragis. Firen ingat bagaimana dia menulisnya dengan air mata menggantung di pelupuk matanya. Sedetik lagi akan tumpah, menyatu dengan darahnya sendiri. Firen ingat beberapa jam yang lalu, saat rumah sepi hanya ada Bibi Lora dan pembantu lain. Sedang Mama dan Papa sedang pergi menghadiri makan malam dengan orang-orang memuakkan lainnya.

Mama dan Papa,

Maafin aku. Aku ngga bisa lagi nurutin kemauan kalian. Kalian adalah orang yang sangat terhormat, demi Tuhan aku letih. Perkataan kalian begitu mengusikku untuk mengambil keputusan ini. Aku ingin bebas.

Firen menghela napas sebelum meneruskan suratnya. Keputusan ini sudah bulat, ngga ada lagi yang bisa menghalanginya. Kehidupan lain telah bisa dia lihat dalam pipirannya.

Mama dan Papa, Firen sangat mencintai Rick. Berapa juta kali pun Papa berusaha memisahkan kita, Firen ngga peduli. Dengan cara ini Firen bisa dengan tenang menemui Rick sesuka Firen. Dari pertama FIren merangkak dan berjalan, seakan jalan hidup Firen telah tertulis di kitab hidup Papa. Firen telah Papa tulis harus menikah dengan pemuda kaya pilihan Papa. Tapi Firen ngga bisa. Tolonglah Papa dan Mama, sekali dalam seumur hidup Firen, biarkan Firen sendiri yang mengfambil keputusan tentang siapa yang harus Firencia pilih. Ini menyangkut kehidupan Firen. Atu lebih baik Firen begini, meninggalkan Papa, Mama, dan kitab kehidupan Papa.

Air mata itu tak tertahankan lagi. Kenangan bersama Mama saat belajar masak dan saat Papa menggendongnya saat dengkulnya terluka terputar pelan di otaknya. Firen tau, Papa dan Mama terlalu sayang padanya, sampai-sampai mereka menginginkan selalu yang terbaik untuk anak tunggalnya itu. Lantas bagaimana bila yang terbaik itu bukan yang terindah, bukan yang Firen inginkan?

Rick…Firen merinding mengingat nama itu. Lelaki itu telah mati. Lelaki itu telah tertusuk pisau orang suruhan Papa. Papa, pejabat teras nomor satu di Jakarta. Papa, sang penguasa. Papa ngga mau Firen pacaran dengan pemuda anak bule pedagang tas tiruan Louis Vuitton di Mangga Dua. Pemuda baik hati yang telah mencuri hari Firen. Dan dia bukan priyayi.

Atas nama Tuhan, Firen minta maaf. Firen telah mengecawakan kalian dengan keputussan sepihak ini. Tapi tahukah Papa dan Mama? Kalian telah mengecewakan Firen, seumur hidup Firen. Biarkan saat terakhir ini Firen yang menentukan kapan Firen harus pergi, kapan Firen tetap menjadi manekin kalian. Firen sayang kalian, apakah kalian juga begitu?

Ya, seharusnya Firen ngga bertanya seperti itu. Tentu aja Mama dan Papa sayang padanya. Kalo ngga, kenapa dari saat Firencia lahir, Papa telah merencanakan yang terbaik untuk dirinya? Sekolah di tempat termahal, terbaik, dan tersesat (menurut Firen!). Ngga ada teman yang sejati, ngga ada orang yang ngga pake topeng muka. Firen ingin hidup normal, itu aja, apakah salah?

Mama, makasi ya udah ngajarin Firen masak, uda bikin Firen wanita paling sempurna dalam usia tujuh belas tahun. Terimakasih atas dedikasi Mama menjadikan Firen manusia paling kuper sedunia. Firen ngga pernah punya teman. Firen ngga boleh dengerin lagu Saosin seperti yang teman-teman Firen denger. Kata Mama itu band setan, kata Firen itu lagi booming Ma!

Bibi Lora, terimakasih atas semua kebaikan Bibi. Bibi yang mencuri waktu Firen untuk bertemu Rick, yang membuat hidup Firen kembali berwarna. Mama tolong jangan pecat Bibi Lora!

Firen ngga bisa lagi menahan airmatanya. Semua kesedihan ini harus diakhiri sekarang juga. Rasa sakit sudah biasa Firen rasakan. Kesedihan, teman hidup Firen selama ini. Kesendirian, teman saat malam menjemput. Kegembiraan hanyalah bonus kebersamaannya dengan Rick. Lelaki yang selalu menghiburnya setiap bertemu. Lelaki dengan kaki timpang sebelah dan keindahan hati yang luar biasa. Tidak bisakan Papa dan Mama melihat segalanya dengan mata hati? Firen tau, seperti apapun kebaikan Rick, Mama sama Papa ngga mungkin membiarkan pemuda dengan cacat fisik menjadi pendampingnya. Rick pandai main gitar. Rick pandai mengecap lagu-lagu indah, menjadi belaian lembut di telinga Firen. Membuat Firen tersenyum, bahkan tertawa dengan gurauannya yang menyenangkan. Firen merindukan Rick. Biar Papa dan Mama juga merasakan kehilangan seperti yang Ayah dan Ibu Rick rasakan.

Papa, Mama, selamat tinggal. Terimakasih atas kerelaan kalian. Firen sayang sama kalian meskipun kalian sama sekali belum pernah membuat Firen bahagia, kecuali melahirkan Firen dengan selamat dan membuat Firen bertemu dengan Rick yang telah tiada.

Selamat tinggal, semoga kita bisa bertemu kembali, dalam kehidupan yang lain…

Firen melipat kertas itu dengan sangat indah, sisa kelembutan yang masih dia punya. Darah, darah itu ngga sengaja menetes di kertas biru itu. Firen berusaha mengelap, tapi malah membuatnya semakin melebar. Merah dan biru, sedih dan haru. Firen menghapus airmatanya. Wajahnya merah kena darah pula.

Sekarang, Firen lega. Mungkin nerakalah tempatnya telah mengecewakan kedua orang tuanya. Tapi apa daya, neraka adalah hidupnya selama ini, mengapa pula dia harus takut dengan neraka? Semakin jauh jiwanya meninggalkan rumah, semakin kelegaan itu membuncah di hatinya. Lepas dari Mama dan Papa, pergi kemana pun dia mau. Firen tersenyum dalam ketransparanan wajahnya. Bintang itu terasa semakin dekat, seakan langit hendak memakannya bulat-bulat. Ngga ada yang bisa melihat keindahan ini. Jutaan bintang menari indah di atasnya, menyambut kedatangannya di atas nirwana, berjalan di atas sucinya putih awan. Lembut, dingin, wangi surgawi. Apa ini neraka? Firen memandang ke bawah. Rumahnya ngga terlihat lagi. Perjalanan yang amat jauh rupanya.

Jauh di rumah Jakarta Timur…

“ Fireeeen!!” teriak Mama histeris. Matanya membiru. Dia ngga bisa lagi memandang wajah gadis tunggalnya itu. Tujuh belas tahun waktu yang sangat singkat. Dia adalah seorang Ibu, sangat menyayangi putrinya. Apapun akan dia lakukan asal Firen kembali. Mama ngga mau makan. Mama kurus sekali. Mama ngga pernah lagi ikut arisan di sana sini. Mama ngga pernah lagi ikut makan malam dengan manusia memuakkan itu. Papa menyelimuti istrinya itu pelan-pelan. Sebutir bening mengalir pelan di pipinya. Penyesalan seakan ngga pernah hilang dari pikirannya. Sebulan sejak dia menemukan Firen bersimpah darah di atas tempat tidur, di samping surat biru itu…

Firen telah meninggal, Firen telah mendapatkan kebebasan itu.

Papa mengusap wajahnya. Tidak, dia memang selalu ingin yang terbaik untuk putrinya, harta yang paling berharga dalam hidupnya. Sekarang hatinya sepi. Hatinya kelu. Hanya Mama…Papa…tanpa Firencia Emeraldy Wicaksono…

140209